Kamis, 11 Juni 2015

A Story about The Stars


Pembaca yang baik,
Aku harap kalian membaca ini dalam keadaan yang baik. Aku juga berharap dengan membaca ini kalian akan mengetahui hal-hal yang tidak mungkin disampaikan D. Wijaya dalam novel debutnya, Above the Stars.

Sebelum kita beranjak lebih jauh, mungkin ada baiknya kita berkenalan lebih dulu karena—apa kata mereka?—tak kenal, maka tak sayang.
Well, namaku Danny—Danny Flynn Jameson. Umurku 19 tahun, aku lahir di Magnolia, Seattle Barat, dan saat kalian membaca ini, aku sedang menunggu surat balasan dari Universitas Autumnmont di Floridaapakah aku diterima masuk di sana atau tidak. Above the Stars sendiri merupakan novel yang bercerita tentang kehidupan remaja dewasaku di Magnolia, dua tahun yang lalu.

Above the Stars ditulis D untuk diikutsertakan dalam lomba menulis yang diadakan oleh Penerbit Ice Cube tahun lalu. Lomba bertajuk Young Adult Realistic Novel yang disingkat menjadi YARN itu—singkatan yang kreatif, omong-omong—mencari novel-novel yang bergenre realistic fiction. Artinya, ceritanya mesti terasa realistis dan sangat mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Dan sewaktu D tahu tentang lomba itu, dia langsung datang kepadaku dan bertanya, apakah mungkin dia bisa menulis sebuah cerita tentang aku, si Danny Jameson yang lugu, polos, dan juga tunanetra.

Pertama kali D menanyakan itu kepadaku, aku hampir mengatainya sinting. Maksudku, kenapa dia tidak pergi ke orang lain saja? Kenapa harus aku? Aku tidak punya sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Kehidupanku terbilang biasa saja, bahkan cenderung membosankan—ini mungkin disebabkan oleh Mom dan Dad yang protektif sehingga aku tidak bebas melakukan sesuatu. Aku punya seorang sahabat bernama Mia Berry. D mungkin bisa menuliskan cerita tentang persahabatan kami, tapi setelah kupikirkan lagi, persahabatan kami bukan cerita yang terlalu menarik—dan lagi Mia juga seprotektif orangtuaku. Aku juga punya semacam magnet yang menarik John Schueller untuk terus menggangguku di sekolah. Itu mungkin bisa dijadikan bahan cerita yang menarik. Kau tahu, tentang bullying, lalu ada pesan moralnya. Tapi, kalau aku cuma menceritakan tentang penindasan yang dilakukan Schueller terhadapku, kurasa aku akan jadi seperti anak umur lima tahun yang kerjaannya cuma merengek—dan aku benci dipandang sebagai anak kecil. Jadi, aku letakkan ide itu jauh-jauh di belakang kepalaku.

Lalu, aku juga punya sepasang mata biru yang tidak bisa melihat. Namun, kalau D berpikir aku akan dengan senang hati menceritakan tentang kebutaanku, maka dia sudah pasti salah besar. Jadi, setelah semua kemungkinan menemui jalan buntu, kusuruh saja D untuk mencari orang lain. Mau bagaimana lagi? Aku juga tidak mau D menuliskan sebuah cerita yang tidak menarik, apalagi ini untuk novel debutnya. D sendiri hanya bisa mendesah pasrah, kurasa dia berpikir perkataanku ada benarnya. Tapi, saat D baru akan mencari orang lain, Will datang sebagai murid baru di kelasku dan mengubah duniaku. Will juga mengubah pikiranku—aku jadi berpikir aku mungkin punya sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Saat aku menawarkan ceritaku pada D, dia langsung mengiyakan dengan murah hati. Itulah awal Above the Stars.

Penulisan Above the Stars dimulai dengan D menanyakan beberapa hal kepadaku. Aku tidak terlalu mengerti dunia tulis-menulis, tapi katanya, ini sebagai dasar untuk membuat kerangka cerita. Katanya juga, ini pertama kalinya dia membuat kerangka lebih dulu sebelum menulis. Selama membuat kerangka cerita, D memintaku tidak perlu bercerita terlalu detil, cukup garis-garis besarnya saja.

Pembuatan kerangka cerita memakan waktu tiga minggu. Aku berpikir, jika untuk membuat kerangka saja sebegitu lama, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menuliskan cerita utuhnya. Kupikir bakal butuh waktu lebih dari satu bulan, tapi ternyata cuma butuh waktu 12 hari untuk menuliskannya. Aku terkejut, D sendiri juga terkejut. Katanya, dia tidak pernah menulis novel secepat ini. Hahaha...

Jadi, sembari D menuliskan cerita utuhnya, aku menceritakan kepadanya tentang orangtuaku yang protektif, tentang John Schueller yang terus menggangguku di sekolah, dan tentang aku yang tidak bisa melihat. Juga, tentang Will yang berhasil mengubah duniaku dan membuatku mempertanyakan sesuatu tentang diriku. Tapi, sebelum aku sempat menemukan jawabannya, Will menghilang.

Oke, mari tidak membicarakan Will yang menghilang. Kita bicarakan saja proses kelahiran Above the Stars.

Setelah D selesai menulis draft pertama, dia menyunting naskahnya sendiri. Dibuangnya bagian-bagian yang dirasanya tidak terlalu berpengaruh dan ditambahkannya beberapa detil untuk menghidupkan cerita. Setelah dia merasa draft tersebut layak berkompetisi, dia pun mengirimkan naskahnya ke redaksi Ice Cube. Deadline lomba jatuh tempo, lomba resmi ditutup, dan proses penjurian pun dimulai. Kata D kepadaku, sewaktu dia melayangkan naskah tersebut, dia tidak berharap mendapatkan posisi tiga besar. Targetnya adalah menjadi salah satu naskah pilihan. Namun, kalaupun pada akhirnya naskah tersebut berhasil menduduki posisi tiga besar, baginya hal itu adalah bonus.

Hari berganti hari sebagaimana mestinya. Ketika hari pengumuman tiba dan naskahnya disebut menjadi salah satu naskah pilihan editor, kalian mungkin bisa membayangkan betapa bahagianya D. Targetnya terpenuhi. Kurasa dia bakal berteriak kalau saja dia tidak berada di kantor saat itu. Aku sendiri ikut bahagia untuknya. Setelah beberapa kali naskahnya ditolak penerbit dan belum berhasil dalam lomba, akhirnya kesempatan itu—yang sudah dinantinya selama 4 tahun—tiba.

Proses penyuntingan bersama editor Ice Cube pun dimulai setelah itu. Editor Above the Stars bernama Anida (dan kalau kau membaca ini: halo, Nida!). Awalnya D agak khawatir dengan proses ini karena dia mendengar dari banyak penulis bahwa proses penyuntingan itu lebih berat daripada proses menulis. Tapi, ketika dijalani, proses penyuntingan berjalan lancar. Kata D, Anida itu editor yang menyenangkan dan juga penyabar. D bahkan yakin kalau Anida pasti sering mengelus dada menghadapi D yang banyak mau. Haha...

Dalam proses penyuntingan, naskah D mengalami perubahan judul. Selain itu, awalnya D meminta warna biru gelap untuk sampul Above the Stars. Namun, Nida mengusulkan warna ungu. Kata Nida, biar sesuai dengan isi cerita. Dan D langsung setuju (D memang segampang itu untuk dipengaruhi. Peace, D). Mengenai apa hubungan warna ungu dengan isi cerita, kalian cari tahu sendiri, ya. Omong-omong, ini nih sampul Above the Stars.





Oh, ya, meski warnanya feminin banget, Above the Stars merupakan novel YARN pertama yang tokoh utamanya cowok, lho. Dan kalau tidak ada halangan, tanggal 22 Juni nanti Above the Stars sudah bisa ditemui di toko buku.

Aku memang tidak bercerita tentang cinta yang digemari banyak orang. Lewat novel ini, kepada kalian, aku membagikan cerita tentang persahabatan,

tentang menikmati hidup,

tentang kebebasan dan jati diri,

tentang penerimaan,

dan tentang kehilangan.

Aku harap ceritaku bisa menempati satu ruang khusus di hati kalian. Aku juga berharap kita bisa segera bertemu di Above the Stars.

Salam paling hangat dari Magnolia,
Danny Flynn Jameson


P.S: book trailer ABOVE THE STARS bisa dilihat di sini.

1 komentar:

  1. Dear Danny,

    Aku harap Kak D mau membacakan ini untukmu.

    Aku sudah membaca blurb novel tentangmu. Saat ini, setelah membaca suratmu, aku menjadi terkesan dengan caramu bercerita. Pun dengan kisah hidupmu--yang katamu mulai berubah sejak kedatangan Will. Ugh, segala sesuatu yang kamu tulis justru membuatku semakin penasaran.

    Omong-omong, 22 Juni bertepatan juga dengan hari ulang tahunku. Semoga aku sudah punya buku tentangmu hari itu, ya. Kalau pun belum, tidak apa-apalah. Aku bisa menunggu sampai 'penghasilan'ku muncul. :)))

    P.S.
    Kak D betul-betul luar biasa, bisa menyelesaikan novel dalam 12 hariiii. :D

    BalasHapus