Pembaca yang baik,
Aku harap kalian membaca ini
dalam keadaan yang baik. Aku juga berharap dengan membaca ini kalian akan
mengetahui hal-hal yang tidak mungkin disampaikan D. Wijaya dalam novel
debutnya, Above the Stars.
Sebelum kita beranjak lebih jauh,
mungkin ada baiknya kita berkenalan lebih dulu karena—apa kata mereka?—tak
kenal, maka tak sayang.
Well, namaku Danny—Danny Flynn Jameson. Umurku 19 tahun, aku lahir di Magnolia, Seattle Barat, dan saat kalian membaca ini, aku sedang menunggu surat balasan dari Universitas Autumnmont di Florida—apakah aku diterima masuk di sana atau tidak. Above the Stars sendiri merupakan novel yang bercerita tentang kehidupan remaja dewasaku di Magnolia, dua tahun yang lalu.
Well, namaku Danny—Danny Flynn Jameson. Umurku 19 tahun, aku lahir di Magnolia, Seattle Barat, dan saat kalian membaca ini, aku sedang menunggu surat balasan dari Universitas Autumnmont di Florida—apakah aku diterima masuk di sana atau tidak. Above the Stars sendiri merupakan novel yang bercerita tentang kehidupan remaja dewasaku di Magnolia, dua tahun yang lalu.
Above
the Stars ditulis D untuk diikutsertakan dalam lomba menulis yang
diadakan oleh Penerbit Ice Cube tahun lalu. Lomba bertajuk Young Adult Realistic Novel yang disingkat menjadi YARN
itu—singkatan yang kreatif, omong-omong—mencari novel-novel yang bergenre realistic fiction. Artinya, ceritanya mesti
terasa realistis dan sangat mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Dan sewaktu
D tahu tentang lomba itu, dia langsung datang kepadaku dan bertanya, apakah
mungkin dia bisa menulis sebuah cerita tentang aku, si Danny Jameson yang lugu,
polos, dan juga tunanetra.
Pertama kali D menanyakan itu
kepadaku, aku hampir mengatainya sinting. Maksudku, kenapa dia tidak pergi ke
orang lain saja? Kenapa harus aku? Aku tidak punya sesuatu yang menarik untuk
diceritakan. Kehidupanku terbilang biasa saja, bahkan cenderung membosankan—ini
mungkin disebabkan oleh Mom dan Dad yang protektif sehingga aku tidak bebas
melakukan sesuatu. Aku punya seorang sahabat bernama Mia Berry. D mungkin bisa
menuliskan cerita tentang persahabatan kami, tapi setelah kupikirkan lagi,
persahabatan kami bukan cerita yang terlalu menarik—dan lagi Mia juga
seprotektif orangtuaku. Aku juga punya semacam magnet yang menarik John
Schueller untuk terus menggangguku di sekolah. Itu mungkin bisa dijadikan bahan
cerita yang menarik. Kau tahu, tentang bullying,
lalu ada pesan moralnya. Tapi, kalau aku cuma menceritakan tentang penindasan
yang dilakukan Schueller terhadapku, kurasa aku akan jadi seperti anak umur
lima tahun yang kerjaannya cuma merengek—dan aku benci dipandang sebagai anak
kecil. Jadi, aku letakkan ide itu jauh-jauh di belakang kepalaku.
Lalu, aku juga punya sepasang
mata biru yang tidak bisa melihat. Namun, kalau D berpikir aku akan dengan
senang hati menceritakan tentang kebutaanku, maka dia sudah pasti salah besar.
Jadi, setelah semua kemungkinan menemui jalan buntu, kusuruh saja D untuk
mencari orang lain. Mau bagaimana lagi? Aku juga tidak mau D menuliskan sebuah
cerita yang tidak menarik, apalagi ini untuk novel debutnya. D sendiri hanya
bisa mendesah pasrah, kurasa dia berpikir perkataanku ada benarnya. Tapi, saat
D baru akan mencari orang lain, Will datang sebagai murid baru di kelasku dan
mengubah duniaku. Will juga mengubah pikiranku—aku jadi berpikir aku mungkin
punya sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Saat aku menawarkan ceritaku pada
D, dia langsung mengiyakan dengan murah hati. Itulah awal Above the Stars.
Penulisan Above the Stars dimulai dengan D menanyakan beberapa hal kepadaku.
Aku tidak terlalu mengerti dunia tulis-menulis, tapi katanya, ini sebagai dasar
untuk membuat kerangka cerita. Katanya juga, ini pertama kalinya dia membuat
kerangka lebih dulu sebelum menulis. Selama membuat kerangka cerita, D memintaku
tidak perlu bercerita terlalu detil, cukup garis-garis besarnya saja.
Pembuatan kerangka cerita memakan
waktu tiga minggu. Aku berpikir, jika untuk membuat kerangka saja sebegitu
lama, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menuliskan cerita utuhnya.
Kupikir bakal butuh waktu lebih dari satu bulan, tapi ternyata cuma butuh waktu
12 hari untuk menuliskannya. Aku terkejut, D sendiri juga terkejut. Katanya,
dia tidak pernah menulis novel secepat ini. Hahaha...
Jadi, sembari D menuliskan cerita
utuhnya, aku menceritakan kepadanya tentang orangtuaku yang protektif, tentang
John Schueller yang terus menggangguku di sekolah, dan tentang aku yang tidak
bisa melihat. Juga, tentang Will yang berhasil mengubah duniaku dan membuatku
mempertanyakan sesuatu tentang diriku. Tapi, sebelum aku sempat menemukan
jawabannya, Will menghilang.
Oke, mari tidak membicarakan Will
yang menghilang. Kita bicarakan saja proses kelahiran Above the Stars.
Setelah D selesai menulis draft pertama, dia menyunting naskahnya
sendiri. Dibuangnya bagian-bagian yang dirasanya tidak terlalu berpengaruh dan
ditambahkannya beberapa detil untuk menghidupkan cerita. Setelah dia merasa draft tersebut layak berkompetisi, dia
pun mengirimkan naskahnya ke redaksi Ice Cube. Deadline lomba jatuh tempo, lomba resmi ditutup, dan proses penjurian
pun dimulai. Kata D kepadaku, sewaktu dia melayangkan naskah tersebut, dia
tidak berharap mendapatkan posisi tiga besar. Targetnya adalah menjadi salah
satu naskah pilihan. Namun, kalaupun pada akhirnya naskah tersebut berhasil
menduduki posisi tiga besar, baginya hal itu adalah bonus.
Hari berganti hari sebagaimana
mestinya. Ketika hari pengumuman tiba dan naskahnya disebut menjadi salah satu naskah
pilihan editor, kalian mungkin bisa membayangkan betapa bahagianya D. Targetnya
terpenuhi. Kurasa dia bakal berteriak kalau saja dia tidak berada di kantor
saat itu. Aku sendiri ikut bahagia untuknya. Setelah beberapa kali naskahnya
ditolak penerbit dan belum berhasil dalam lomba, akhirnya kesempatan itu—yang
sudah dinantinya selama 4 tahun—tiba.
Proses penyuntingan bersama
editor Ice Cube pun dimulai setelah itu. Editor Above the Stars bernama Anida (dan kalau kau membaca ini: halo, Nida!). Awalnya D agak khawatir
dengan proses ini karena dia mendengar dari banyak penulis bahwa proses
penyuntingan itu lebih berat daripada proses menulis. Tapi, ketika dijalani,
proses penyuntingan berjalan lancar. Kata D, Anida itu editor yang menyenangkan dan juga penyabar. D bahkan yakin kalau Anida pasti
sering mengelus dada menghadapi D yang banyak mau. Haha...
Dalam proses penyuntingan, naskah
D mengalami perubahan judul. Selain itu, awalnya D meminta warna biru gelap
untuk sampul Above the Stars. Namun,
Nida mengusulkan warna ungu. Kata Nida, biar sesuai dengan isi cerita. Dan D
langsung setuju (D memang segampang itu untuk dipengaruhi. Peace, D). Mengenai apa hubungan warna ungu dengan isi cerita, kalian
cari tahu sendiri, ya. Omong-omong, ini nih sampul Above the Stars.
Oh, ya, meski warnanya feminin banget, Above the Stars merupakan novel YARN
pertama yang tokoh utamanya cowok, lho. Dan kalau tidak ada halangan, tanggal
22 Juni nanti Above the Stars sudah
bisa ditemui di toko buku.
Aku memang tidak bercerita
tentang cinta yang digemari banyak orang. Lewat novel ini, kepada kalian, aku
membagikan cerita tentang persahabatan,
tentang menikmati hidup,
tentang kebebasan dan jati diri,
tentang penerimaan,
dan tentang kehilangan.
Aku harap ceritaku bisa menempati
satu ruang khusus di hati kalian. Aku juga berharap kita bisa segera bertemu di
Above the Stars.
Salam paling hangat dari
Magnolia,
Dear Danny,
BalasHapusAku harap Kak D mau membacakan ini untukmu.
Aku sudah membaca blurb novel tentangmu. Saat ini, setelah membaca suratmu, aku menjadi terkesan dengan caramu bercerita. Pun dengan kisah hidupmu--yang katamu mulai berubah sejak kedatangan Will. Ugh, segala sesuatu yang kamu tulis justru membuatku semakin penasaran.
Omong-omong, 22 Juni bertepatan juga dengan hari ulang tahunku. Semoga aku sudah punya buku tentangmu hari itu, ya. Kalau pun belum, tidak apa-apalah. Aku bisa menunggu sampai 'penghasilan'ku muncul. :)))
P.S.
Kak D betul-betul luar biasa, bisa menyelesaikan novel dalam 12 hariiii. :D