Kita tidak pernah bertemu lagi sejak malam pelepasan
wisudawan. Malam itu, setelah kau memperkenalkan kekasihmu padaku, saat kita
melangkah keluar dari ballroom tempat
acara pelepasan tadinya berlangsung, kita seperti melangkah keluar dari
kehidupan masing-masing. Kau dari kehidupanku dan aku dari kehidupanmu. Aku
masih menyimpan nomor ponselmu, pin BBM-mu, juga alamat email-mu. Aku percaya kau juga. Tapi, tidak ada satu panggilan pun
yang kita layangkan, tidak ada satu kata pun yang kita tukar. Kau dan aku...
kita berdua tahu kalau malam itu adalah momen yang tepat untuk mengakhiri apa
yang kita bagi, apa pun itu, sebelum kita melangkah terlampau jauh dan lupa
untuk berhenti. Bukannya aku ingin berhenti. Hanya saja kita diharuskan begitu
oleh sekelompok orang, oleh sejumlah pandangan.
Maka, ketika kau menepuk bahuku di
sore yang kelabu itu dan bertanya, “Boleh minta waktunya sebentar?”, belasan
pertanyaan pun berkejaran dalam kepalaku. Belasan pertanyaan yang pada akhirnya
urung kusuarakan. Seperti yang sudah-sudah.
“Rendy?” responsku setelah
berbalik. Mataku melebar memandangi sosokmu yang menjulang selalu beberapa
senti lebih tinggi dariku.
“Tadinya aku takut kau sudah lupa,”
katamu sambil terkekeh pelan.
“Omong kosong,” aku mendengus. “Kita
sama-sama kuliah di sini, satu kelas pula selama dua tahun. Bagaimana mungkin
aku bisa lupa.”
Kau terkekeh lagi sementara aku
dibuat bungkam oleh perkataanku sendiri. Ingin rasanya aku mengulang kalimat
tadi, mengucapkannya dengan cara yang berbeda sehingga kalimat itu tidak
terdengar sambil lalu. Agar kalimat itu terdengar sedikit lebih bermakna.
Bagaimana mungkin aku bisa lupa
setelah apa yang kita bagi lewat semua yang tidak terucap? Lewat jabat
tangan-jabat tangan itu....
“Apa kabar?” tanyamu.
“Baik, baik. Kau sendiri?”
“Jauh lebih baik sekarang,”
sahutmu, lalu tersenyum. “Jadi dosen nih sekarang?” tanyamu dengan nada
menggoda.
Aku mengangkat bahu. “Aku selalu
ingin jadi guru dari dulu.”
Kau mengangguk. “Kalau kau sih aku
tidak ragu. Kan lulusan terbaik dari angkatan kita.”
Aku tersenyum kecil. “Kau sendiri anak
kantoran sekarang?” tanyaku sembari memerhatikan tubuh tegapmu yang dulunya
sering dibalut dengan kaus longgar dan celana jins, namun sekarang berganti
dengan kemeja biru lengan panjang dan celana hitam formal.
“Cuma sementara,” balasmu tidak
antusias. “Aku tidak sabar menunggu saat aku berhasil mendirikan rumah produksi
software-ku sendiri.”
Ah, mimpi itu.... Mimpimu sedari
dulu. Selalu yang itu. Saat dosen kita menanyakan apa tujuan kita mengambil
jurusan Teknik Informatika, saat teman-teman bertanya apa yang bakal kaulakukan
sesuai lulus, kau selalu memberikan jawaban yang sama dengan nada optimistis
yang tidak pernah berkurang kadarnya: aku
ingin mendirikan rumah produksi software.
“Cari tempat duduk yuk,” ajakmu
tiba-tiba. “Bangku yang dulu sering kita duduki masih ada?”
Aku mengangguk. Sebentar kemudian,
kita telah berpindah, dari koridor kampus ke bangku kayu dekat taman kampus. Lalu
obrolan pun terjalin begitu saja, dengan mudahnya, seolah-olah kita tidak
pernah putus komunikasi. Dari obrolan itu aku pun tahu kalau kau sekarang
bekerja sebagai programmer di salah
satu perusahaan pengurus jasa transportasi laut. Sebelum itu, kau adalah programmer di satu perusahaan penjual
dan penyewa alat-alat berat. Tidak mengherankan. Dari dulu, kau memang yang paling
menonjol di mata kuliah Pemrograman. Aku memang lulusan terbaik, tapi ilmu
pemrogramanku tidak pernah bisa menyamaimu. Berapa bahasa pemrograman yang kau
kuasai? C, C++, Visual, dan terakhir kuingat, sebelum lulus, kau sedang memperdalam
bahasa Java. Aku mengagumimu karena itu.
Dan karena beberapa hal lain....
“Sabtu ini kau ada acara?”
Tiba-tiba kau bertanya.
Aku mengerutkan kening,
mengingat-ingat sejenak, lalu menggeleng. “Kenapa?”
“Nonton yuk. Fantastic Beasts. Itu lho, prekuel Harry Potter yang ceritanya tentang si Newt Salamander, penulis
buku Fantastic Beasts and Where to Find
Them yang dipakai Harry Potter waktu sekolah.”
Aku langsung membuat wajah sinis.
Tentu saja aku tahu film Fantastic Beasts
itu tentang apa. Dan lagi... “Newt Scamander,” kataku datar.
Kau menatapku, lalu tertawa. “Tidak
berubah ya, kau ini. Selalu saja suka mengoreksi orang lain,” ledekmu.
“Setidaknya aku berhasil mengubah
kebiasaan itu jadi karier.”
Kau mengangguk-angguk. “Jadi,
nonton Sabtu ini?” tawarmu seraya mengulurkan tangan kananmu, mengajakku
berjabat.
Aku menatap tanganmu yang terulur
itu dalam diam. Sudah berapa lama kita tidak bertemu, Ren? Empat tahun? Lima
tahun? Mungkin di antaranya. Tapi, sekarang kau di sini, di dekatku, duduk di
bangku yang dulu sering kita tempati dan mengajakku berjabat tangan seolah-olah
malam pelepasan wisudawan itu baru kemarin, seolah-olah kita tidak pernah
menghilang dari kehidupan satu sama lain.
Aku masih menekuri tanganmu saat
kau menyerukan “hei” dengan pelan karena aku tidak kunjung memberimu jabat
tangan itu; jabat tangan yang dulu sering kita lakukan saat kita sepakat
mengenai sesuatu, saat kau meminta maaf, saat kau menyelamatiku ketika proposal
skripsiku akhirnya diterima, saat aku dinyatakan lulus sidang meja hijau, dan
saat-saat remeh lainnya yang sebenarnya tidak mengharuskan kita berjabat tangan.
Sampai pada akhirnya aku mengerti bahwa jabat tangan itu, jabat tangan kita,
adalah caramu menyampaikan perasaanmu. Tanpa kata. Tanpa suara.
Empat atau lima tahun sudah berlalu,
Ren. Adakah jabat tangan kita masih memiliki arti yang sama? Namun, toh seperti
yang sudah-sudah, aku akhirnya tetap menyambut dan menjabat tanganmu.
Kau tersenyum.
Jabat tangan kali ini berlangsung
lama, selama jabat tangan terakhir kita di malam pelepasan.
“Aku harus balik,” gumammu ketika
jabat tangan kita terurai. “Ada urusan.”
Aku mengangguk. Kau bangkit
berdiri dan menarik langkah menjauh. Tapi, baru tiga langkah, kau berhenti dan
berbalik.
“Nico...”
“Ya?”
“It’s really good to see you after all these years.”
“Hm.”
“Anyway, you got stains from your marker on your face.” Kau
menyentuh area di bawah matamu dengan jari telunjuk. Terkekeh singkat, kau
kemudian berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Aku mengusap area di bawah mataku,
lalu tersenyum tipis.
It’s really good to see you too.
***
Kita menonton Fantastic
Beasts Sabtu itu. Dan tidak hanya itu. Di Sabtu berikutnya kau mengajakku
ke toko buku untuk membeli beberapa buku tentang pemrograman. Di suatu Rabu kau
sengaja mampir ke kampus di sela-sela jam makan siangmu hanya untuk memberiku
satu cup kopi, beralasan bahwa sedang
ada promo beli satu gratis satu. Dan di beberapa Jumat, hari di mana waktu
makan siang dijatah lebih lama, kau mengajakku makan siang bersama. Semua janji
temu itu dan jabat tangan-jabat tangan yang menyelinginya, semua itu mau tak
mau membuatku bertanya-tanya sendiri, akankah kali ini “kita” memiliki arti
yang lebih daripada yang dulu?
Tapi, Jumat itu, enam bulan
semenjak jalan kita kembali bersinggungan, saat kau muncul dengan air muka yang
keruh, aku tahu aku tidak semestinya berharap lagi. Aku seharusnya sudah tahu
bahwa apa yang terjadi selama enam bulan ini hanyalah euforia semata. Bahwa
kembalinya dirimu ibarat pesta kembang api yang kutunggu di setiap malam tahun
baru, yang walau berlangsung lama, namun pada akhirnya akan berakhir juga dan
tidak menyisakan apa-apa selain kenangan dan rasa kehilangan.
Kau terdiam lama setelah mengambil
tempat duduk di depanku. Suasana bistro ramai dan suara pengunjung yang
bercakap-cakap terdengar seperti dengungan kumbang besar di telingaku. Lalu,
masih dengan diam, kau meletakkan sesuatu di atas meja dan mendorongnya ke
arahku. Bentuknya persegi panjang dan berwarna putih keemasan. Napasku
sekonyong-konyong terasa berat. Sebuah undangan pernikahan.
Rendy Tanjaya, S.Kom & Sivia Tanuwija, S.E
Sivia... Itu nama kekasihmu yang
kaukenalkan padaku di malam pelepasan.
“Undangan pernihakan?” tanyaku
getir.
Kau menatapku sebentar, menghela
napas, lalu menunduk. Waktu terus berlalu dan kau tidak kunjung bersuara. Saat
kukira kau tidak akan pernah menjawab pertanyaanku, kau bergumam pelan, “Aku
minta maaf, Nic.”
Aku tidak akan berbohong. Ada
kalanya aku meragu; apakah ini cuma imajinasiku saja, bahwa jabat tangan-jabat
tangan itu tidak pernah berarti lebih, bahwa hubungan kita tidak pernah lebih
dari sekadar teman dekat. Karena tidak ada satu kata pun darimu yang pernah
menegaskan hubungan kita. Kau dan aku... berdua kita layaknya abu-abu. Namun,
sekarang, untuk pertama kalinya kau menegaskannya. Untuk pertama kalinya kau
memisahkan keabu-abuan kita ke dalam hitam dan putih. Untuk pertama kalinya kau
menyampaikan perasaanmu lewat suara, lewat nada-nada penyesalan.
“Minta maaf untuk apa, Ren?”
“Semuanya.”
“Kau tidak punya hak, Ren,” kataku
dingin. Kau tampak tersentak. “Kau sudah memilih. Kau kembali lagi setelah
sekian lama dan pada akhirnya kau memilih untuk menikah. Maksudku, untuk apa—”
Untuk apa kau repot-repot kembali?
Akan lebih mudah jika kau tidak pernah kembali. Akan jauh lebih mudah jika kita
tetap berada di luar jarak pandang masing-masing.
“Maaf...” gumammu pelan, nyaris
berbisik.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Ren,
kau tahu kenapa hubungan kita tidak akan pernah berhasil?”
“Karena kita berdua laki-laki?”
Aku menggeleng pelan. “Karena pada
akhirnya, kau tidak akan pernah memilihku.”
Itu membuatmu tenggelam lagi dalam
diam. Aku meraih undangan pernikahanmu, mengamatinya sebentar. Lalu dengan
seulas senyum samar aku berkata, “Selamat ya. Aku—”
Kalimat itu toh tidak pernah
terselesaikan. Sebab, sementara bibirku ingin mengucapkan “aku turut bahagia”,
semua sel dalam diriku meneriakkan kata tidak.
***
Jam makan siang sudah nyaris berakhir, tapi aku masih
belum mau meninggalkan bistro ini. Sebab, aku tahu, saat aku melangkah keluar
dari sini, aku harus melangkah keluar dari kehidupanmu juga, sekali lagi.
Aku tahu aku harus merelakanmu.
Aku tahu aku akan merelakanmu.
Maksudku, apa lagi yang bisa aku
perbuat selain merelakanmu?
Jadi, biarkan aku menghilang
ke dalam ketiadaan
Sebab, itulah caraku merelakanmu
sampai tiada
---
Author's note: Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.
Kak D~ 😭😭😭😭😭
BalasHapus