Minggu, 20 September 2015

Darren Johnson and The Legatus of Ethra


SUNGGUH, menghabiskan hari Sabtu dengan mengunjungi galeri lukisan sama sekali bukan ideku. Itu ide Mom. Kalau kalian tanya aku, aku akan dengan senang hati membungkus diri dengan selimut dan tidur sepanjang hari. Tapi, Mom berpendapat lain. Menurutnya, akhir pekan itu harus dihabiskan dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti menyeret putra satu-satunya ke sebuah galeri lukisan membosankan di New Bond Street.

“Mom, demi Tuhan, ini hari Sabtu!” erangku saat Mom menarik selimutku.

“Aku tahu,” balas Mom riang. “Dan kau sudah berjanji akan menemaniku ke D’Art hari ini.”

Masih berbaring, aku mengerutkan kening, mengingat-ingat. Mom pasti melihat itu karena kemudian ia berkata, “Jangan berlagak lupa. Kau sudah berjanji Selasa kemarin.”

Aku melebarkan mata. “Kau pasti tidak berpikir aku serius waktu itu.”

Mom diam saja.

“Mom!” aku berseru. “Kau tidak bisa menganggap aku serius waktu itu. Aku berjanji hanya agar kau memberiku uang untuk membeli sepatu baru. Aku sama sekali tidak serius.”

Well, aku menganggap serius semua janji yang diucapkan oleh—khususnya—laki-laki.”

“Tidak adil,” protesku. “Sepatu lamaku sudah tidak layak pakai. Aku butuh sepatu baru. Kau tidak boleh mengambil keuntungan dari sepatu lamaku yang tidak layak pakai.”

“Pelajaran pertama hari ini, Darren,” kata Mom, “jangan mengucapkan janji yang tidak mau kaupenuhi.”

“Kecuali kalau kau punya alasan mendesak seperti sepatu lama tidak layak pakai yang butuh segera diganti,” tandasku datar. Aku menarik selimut sampai melewati kepala, baru memejamkan mata selama satu detik ketika selimutku kembali tertarik ke bawah.

“Darren, bangun.”

“Tidak.”

“Darren Brian Johnson...!”

Pada akhirnya, aku benar-benar menemani Mom ke D’Art. Kalau orangtua kalian sudah memanggil kalian dengan nama depan-tengah-belakang, kusarankan, nih: berhenti sajalah bersikap keras kepala. Karena kalau tidak, biasanya hal-hal buruk bakal menimpamu.

Aku mengekori Mom pindah dari satu ruangan ke ruangan lain, dari satu koridor ke koridor lain tanpa semangat. Aku tidak habis pikir apa yang menarik dari sebuah galeri lukisan. Ruangan dan koridor yang lengang, dinding yang dipasangi lukisan—menurutku, itu semua membosankan.

Kami beranjak ke ruangan lain. Mom langsung menghampiri sisi kanan ruangan. Aku mendesah dan mengedar pandangan. Saat itulah aku melihat lukisan itu, tergantung di sisi kiri ruangan.

Sekilas, lukisan itu tampak seperti lukisan hutan biasa. Tapi, ada sesuatu mengenai lukisan itu yang menarikku untuk terus mengamati deretan pepohonannya, warna dedaunannya, dan akar-akar yang mencuat keluar dari tanah.

Aku maju satu langkah. Lalu aku mendengar sesuatu—suara napas yang terengah-engah. Sontak aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada orang lain di dekatku. Aku berbalik ke belakang, hanya untuk mendapati semua orang sedang sibuk melihat-lihat lukisan, termasuk Mom.

Aku kembali menatap lukisan di depanku. Suara itu masih terdengar, lamat-lamat. Aku mengerutkan kening, mencoba untuk mendengar dengan lebih seksama.

Dari lukisan, batinku terkejut. Suara itu berasal dari lukisan!

Secara intuitif aku menatap lukisan hutan itu lebih lekat. Dan suara itu semakin jelas. Lalu tiba-tiba suara itu menghilang, digantikan oleh suara Mom.

“Darren, ada apa?”

Aku mengerjap, menoleh ke Mom, dan menggeleng. “Tidak... Hanya saja... aku seperti mendengar sesuatu dari lukisan ini,” kataku.

“Mendengar sesuatu?”

Aku mengangguk.

“Kau mendengar sesuatu dari lukisan?”

Aku mengangguk lagi.

“Terakhir aku cek, lukisan itu untuk dilihat, bukan didengar,” kata Mom sarkastis.

“Aku mendengarnya, Mom. Ada suara... seperti napas yang kepayahan,” aku berkeras.

Mom mendesah. “Dengar, jika ini adalah salah satu trikmu agar kita bisa segera pulang, kau tidak akan berhasil.”

“Mom, aku tidak—”

Mom menyelaku dengan gelengan kepala.

Aku mendecak. Kemudian aku membaca papan keterangan mengenai lukisan hutan itu. Papannya digantung di atas tiang penyangga di depan lukisan.

“Incarceron...”

“Apa?” tanya Mom.

“Judul lukisannya Incarceron,” kataku tanpa menatap Mom. “Incarceron merupakan alam bayangan yang dibuat untuk mengurung penjahat paling berbahaya.”

Aku menoleh. Mom menatapku sambil mengangkat alis sedemikian rupa, seolah-olah aku baru saja memberitahunya anjing peliharaan tetangga kami punya sayap dan bisa terbang jungkir-balik.

“Apa?” tanyaku.

“Apa yang baru kaulakukan?”

“Membaca keterangan lukisannya,” sahutku.

“Cukup dengan imajinasi liarmu, Darren,” ujar Mom. “Koleksi novel fantasimu itu benar-benar tidak memberikan manfaat.”

Aku mengernyit. “Apa yang Mom bicarakan?”

“Bagaimana kau bisa membaca keterangan yang berisi simbol-simbol seperti itu?” Mom balas bertanya.

“Simbol apa—” Aku berpaling ke papan keterangan tadi dan langsung terdiam. Isinya memang hanya simbol-simbol. Tapi, bagaimana bisa? Aku bersumpah, tadi papan itu berisi huruf-huruf dan aku bisa membacanya selayaknya membaca buku. Tapi, sekarang—

Kau bisa mendengarku?

Aku membeku di tempat. Kutatap lukisan Incarceron itu.

Hei, kau bisa mendengarku?

Suara laki-laki. Terdengar mendesak.

Aku mengecek sekitarku. Mom sudah kembali sibuk melihat-lihat lukisan.

“Siapa kau?” tanyaku berbisik.

Aku butuh bantuanmu!

“Kau itu lukisan?”

Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Aku butuh bantuan.

“Kau itu lukisan yang bisa bicara?”

Bukan! Lukisan itu—atau apalah itu—terdengar kesal. Aku bukan lukisan. Aku ada di dalamnya.

“Bagaimana kau bisa ada di dalam lukisan?”

Aku benar-benar tidak punya waktu untuk menjelaskan. Dia sedang mengejarku. Dan dia berhasil mengambil gelang dan kunciku. Aku tidak punya logam sekarang. Kalau dia menemukanku, aku tidak akan bisa melawan.

“Dia siapa?”

Aku memerlukan logam. Apa kau punya sesuatu yang terbuat dari logam?

Aku melirik tangan kiriku. “Ya, aku punya cincin.”

Bagus. Sekarang sentuh lukisan di depanmu.

“Untuk apa?”

Sentuh sajalah! Suara itu menyentak. Lalu dengan suara yang lebih pelan ia menambahkan, tolong.

Aku, akhirnya, menurut. Aku menyentuh Incarceron dengan tangan kanan. Lukisan itu bergetar sebentar. Lalu tangan kananku menembus permukaan lukisan itu. Aku bahkan tidak sempat untuk terkejut karena di detik berikutnya aku merasa ada sesuatu yang menarikku ke dalam lukisan itu. Bayangan-bayangan entah apa berkelebat begitu cepat di depan mataku. Kepala dan kakiku terasa ditarik dari dua arah yang berbeda. Tulang-tulangku rasanya bakal lepas dari sendinya masing-masing. Dan aku merasa mual. Dan aku rasa ini ada hubungannya dengan bayangan-bayangan itu. Jadi, aku memutuskan untuk memejamkan mata. Ketika sensasi ditarik dan tulang-tulang-bakal-lepas itu berakhir dan aku membuka mata, aku tidak lagi melihat bayangan-bayangan itu, tidak juga lukisan Incarceron itu.

Yang aku lihat hanyalah deretan pepohonan entah apa.

***

“KAU baik-baik saja?”

Aku mengangguk. “Hanya agak mual.” Lalu aku tersentak dan bersicepat menoleh ke kanan. Di sana berdiri seorang laki-laki yang kelihatannya seumuran denganku. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan wajahnya kotor dan berminyak. “Siapa kau?”

“Connor,” jawab laki-laki itu. Ia mengatur napas sebentar, kemudian, “Aku yang berbicara denganmu tadi.”

Aku memandang sekeliling. “Ini di mana?”

“Incarceron.”

Aku membelalak. “Incarceron seperti yang tertulis di papan keterangan itu?”

Connor mengangguk.

“Hutan ini mengurung penjahat paling berbahaya?”

Connor tidak langsung menjawab. Ia memandang berkeliling dengan waspada. Lalu, “Ya.”

“Siapa yang dikurung di sini? Apa dia yang mengejarmu?”

Connor menatapku, sedikit menyipit. “Kau ini penuh pertanyaan.”

Well, ini kali pertama aku masuk ke dalam lukisan,” kataku. Lalu aku terdiam mendadak. “Astaga, aku masuk ke dalam lukisan! Apa aku benar-benar masuk ke dalam lukisan? Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?” cerocosku panik. “Aku pasti bermimpi. Jari! Aku harus menghitung jariku. Jarimu bertambah banyak di dalam mimpi.” Lalu aku menghitung jariku dengan cepat. “Sepuluh! Aku tidak sedang bermimpi?” Aku menoleh menatap Connor.

Ia menatapku sambil mengerutkan alis, seolah aku ini orang gila. “Kau tidak sedang bermimpi.”

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Ceritanya panjang.”

“Versi singkatnya kalau begitu.”

Connor mendecak. “Pernah dengar teori yang menyatakan kalau ada dunia lain selain dunia yang kita tempati?”

Aku mengangguk.

“Dunia itu ada. Dunia itu bernama Ethra.”

“Siapa kau?”

“Connor.”

Aku menggeleng. “Bukan, bukan... Maksudku, kau ini apa? Manusia, jin—”

“Legatus,” ia menyela. Aku mengernyit. “Itu cuma sebutan. Aku masih manusia—hanya saja bukan manusia biasa. Aku duta dari Bumi untuk Ethra.”

“Duta?”

“Aku bisa bolak-balik dari Bumi ke Ethra dan sebaliknya.”

“Lewat lukisan?”

“Lukisan, cermin, tembok, apa pun yang menghubungkan Bumi dengan Ethra.”

“Apa yang kaulakukan di sini?”

“Patroli. Tadinya.”

“Patroli?”

Connor menatapku lurus-lurus. “Bisakah kau berhenti bertanya?”

“Bisakah kau berhenti bersikap misterius? Aku butuh penjelasan—sejelas-jelasnya. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi dan itu membuatku—rasanya kepalaku bakal meledak.”

Connor mendesah keras-keras. “Aku sedang patroli untuk mengecek tempat ini saat dia menyerangku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa berkeliaran. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa melepas segelnya. Tapi, dia menyerangku saat aku sedang tidak siap dan dia berhasil mengambil gelang dan kunciku.”

“Dia siapa?” desakku. Aku sudah menanyakan ini dua kali. Dan kalau ia tidak menjawabku kali ini, aku akan... aku akan menyeretnya dan melemparnya ke batang pohon terdekat. Kurasa aku bisa melakukan itu meski otot lengan dan urat-urat yang menjalar di sepanjang lengannya menegaskan kalau itu tidak akan jadi pekerjaan yang mudah.

“Sedda Manbrook,” sahutnya. “Penjahat yang dikurung di sini.”

“Lalu kunci apa yang kaumaksud?”

“Kunci untuk masuk dan keluar dari sini.”

“Tapi, kau memasukkanku ke sini.”

“Selama aku berada di sini, aku bisa mengizinkan siapa saja masuk,” Connor menerangkan. “Tapi, tanpa kunciku, aku tidak bisa keluar dari sini.”

“Jadi, penjahat itu mengambil kuncimu untuk keluar dari sini?”

Connor menggeleng dengan raut wajah serius. “Hanya aku yang bisa memakai kunci itu. Dia mengambil kunciku supaya aku tidak bisa keluar dari sini. Dia berencana menangkap dan menjadikanku umpan untuk menarik Legatus lain agar datang menyelamatkanku. Dan saat Legatus lain membuka portal untuk masuk kemari, dia akan menggunakan portal itu untuk melarikan diri.”

“Apa yang akan kaulakukan sekarang?”

Raut wajahnya bertambah serius. “Aku harus mengalahkannya.”

“Seolah kau bisa saja,” ujar sebuah suara.

Connor dan aku bersicepat berputar ke belakang. Seorang pria berdiri di sana. Tubuhnya besar, kekar, dan dipenuhi bekas luka. Wajahnya tampak galak dengan tulang-tulang tengkorak yang menonjol. Setiap inci tubuhnya memancarkan pertanda bahaya.

Connor maju satu langkah. Aku diam di tempat, ragu bagaimana seorang remaja sepertinya akan mengalahkan seorang pria dewasa yang besar tubuhnya nyaris dua kali lebih besar.

“Sejujurnya aku agak tersinggung mereka mengutus Legatus remaja sepertimu untuk mengecekku. Rasanya aku terlalu diremehkan,” kata Sedda.

“Kau tahu mereka mengutus orang yang tepat. Dan kau tahu kau sebenarnya takut padaku. Itu sebabnya kau mengambil gelangku,” balas Connor dengan tenang.

Sedda terdiam. Well, setidaknya Connor lumayan dalam mengintimidasi. Masalahnya, kau tidak bisa mengalahkan seseorang hanya dengan mengintimidasinya.

“Darren, cincinnya?” kata Connor.

“Bagaimana kau bisa tahu namaku?” aku bertanya.

“Aku dengar semua percakapanmu dengan ibumu tadi,” sahut Connor tidak sabar. “Cincinnya?”

Aku melepas cincinku dari jari tengah. Kuberikan cincin itu padanya.

Connor menggenggam cincin itu. Lalu dari dalam genggamannya mencuat sebuah pedang yang warnanya sama dengan warna cincinku, perak.

Aku melompat mundur. “Woah, bagaimana kau melakukannya?”

“Setiap Legatus punya pusaka mereka masing-masing. Pusakaku adalah kemampuan memanipulasi logam,” beritahu Connor.

Well...,” ujar Sedda. “Kau ingin bertarung? Aku akan meladenimu.”

Kemudian sesuatu terjadi pada wajah Sedda—wajahnya bergelegak seperti air mendidih. Gelembung-gelembung merayap di balik kulit wajahnya. Ia menjatuhkan diri dan bertumpu pada kedua tangan dan kakinya. Lengan dan pahanya membesar. Sesungguhnya, seluruh tubuhnya membesar. Wajahnya sekarang berbentuk seperti bukan wajah manusia.

“Dia itu apa?” tanyaku ngeri.

“Shapeshifters,” jawab Connor. Sikap tubuhnya waspada.

“Maksudmu, dia bisa berubah bentuk?”

Connor mengangguk.

“Bentuk apa yang dia ambil?”

Tapi, pria itu sudah berubah bentuk sepenuhnya. Menjadi singa. Namun, bukan singa biasa karena ia punya tubuh dan kaki kambing. Selain kepala singa, ia juga punya kepala kambing yang mencuat dari punggungnya. Dan di tempat di mana ekornya seharusnya berada, mendesis seekor ular berwarna hijau gelap. Tanpa Connor beritahu pun aku tahu makhluk apa itu. Itu adalah...

“Chimaera,” sahut Connor. Ia mengangkat pedangnya lebih tinggi. Dengan menggenggam pedang begitu, ia memang tampak lebih menjanjikan. Tapi, tetap saja aku ragu bagaimana ia akan mengalahkan seekor singa yang besarnya tiga kali lipat dari singa pada umumnya. Terlebih ketika singa itu mendapat bonus sebuah kepala kambing di punggungnya dan seekor ular sepanjang tiga meter sebagai ekornya.

Connor menoleh ke arahku. Dari gagang pedangnya, ia menarik keluar sebuah pedang baru dan mengangsurkannya padaku.

“Apa?” tanyaku defensif.

Connor menempelkan bilah pedang itu ke dadaku.

“Aku tidak akan bertarung, kalau itu yang kaupikirkan,” ujarku cepat-cepat.

“Cuma untuk berjaga-jaga,” katanya. Aku menerima pedang itu dengan gemetaran. Connor menatapku. “Dengar, aku minta maaf karena sudah melibatkanmu. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak bisa mengalahkannya tanpa logam.”

Aku mengangguk.

Connor tersenyum untuk pertama kalinya. “Bersembunyilah. Aku akan melindungimu, aku janji.”

Aku mengangguk lagi. Setelah itu aku melesat ke balik sebuah batang pohon.

Chimaera mengaum. Bulu kudukku meremang. Aku mengintip dari balik pohon. Connor dan Chimaera bergerak berhadap-hadapan membentuk lingkaran. Lalu Chimaera melompat menerjang Connor. Connor berguling di tanah dan menyabet perut Chimaera dengan pedang. Makhluk itu mendarat, mengentak, dan mengaum kesakitan.

Connor berbalik dan mengacungkan pedangnya dengan mantap.

Sepertinya ia punya peluang untuk menang.

Chimaera mengaum dan menyemburkan api dari mulutnya.

Atau tidak.

Connor berguling menghindari api tersebut. Kemudian ekor Chimaera yang adalah seekor ular melesat ke depan. Connor mengayunkan pedangnya ke udara. Ular itu mundur dengan cepat dan mendesis tajam. Lalu kepala kambing Chimaera menoleh ke arahku. Aku menarik kepalaku kembali ke balik batang pohon. Aku menunduk dan menyadari kalau kedua kakiku bergetar. Aku menjatuhkan pedang dan terduduk di tanah sementara pertarungan antara Connor dan makhluk buas itu masih terus berlanjut.

Aku memejamkan mata. Aku harus melakukan sesuatu. Chimaera... Aku pernah membaca sesuatu tentang makhluk itu. Aku harus mengingat-ingat apa yang aku baca. Mungkin ada sesuatu yang berguna. Chimaera... Chimaera... Apa yang aku ketahui tentang makhluk itu? Aku—sial, aku tidak bisa mengingatnya. Aku terlalu panik.

Oke, oke... Aku menarik panjang, lalu mengembuskannya—aku mengulanginya sampai aku merasa lebih tenang. Chimaera. Makhluk mitologi. Hibrida dari singa, kambing, dan ular. Bernapas api. Anak Typhon dan Echidna. Saudara Cerberus dan Hydra. Akhirnya dikalahkan oleh Bellerophon dan Pegasus. Bellerophon menunggangi Pegasus dan sementara Pegasus terbang, Bellerophon menombak Chimaera hingga mati.

Itu dia! Bellerophon berhasil mengalahkan Chimaera karena ada Pegasus yang membawanya terbang untuk menghindari napas api Chimaera. Itu yang dibutuhkan kalau kau menghadapi Chimaera. Jarak! Connor butuh senjata yang bisa digunakan dari jarak jauh. Pedang sudah pasti bukan salah satunya.

“Hei!” aku berteriak.

“Apa?” Connor balas berteriak.

Aku mengintip. Connor tampak kepayahan. “Kau tidak bisa mengalahkannya dengan pedang. Kau butuh senjata untuk pertarungan jarak jauh.”

“Seperti?”

“Busur panah!” seruku.

“Busur punya tali. Aku tidak bisa membuat tali dari logam,” balas Connor.

“Pisau belati?”

“Aku tidak mahir melempar pisau belati.”

“Aku mahir!”

Connor mundur dan menoleh ke arahku. “Apa?”

Chimaera memanfaatkan kesempatan itu untuk menyemburkan kolom api. Aku membelalak. “Awas!”

Connor berhasil menghindar di detik-detik terakhir. Aku menyambar pedangku dan melemparkannya ke Connor. Pedang itu mendarat di dekat kakinya.

“Kau bisa mengubahnya?”

Sebagai jawabannya, Connor memungut pedang itu, mengubahnya menjadi empat pisau belati, dan melemparkannya padaku. Aku memungutnya, lalu berlari keluar dari persembunyian. Aku berhenti agak jauh di belakang Connor. Aku menjatuhkan tiga pisau, menyisakan satu di tangan kanan. Kemudian aku mencoba untuk fokus. Sebentar kemudian, pisau itu telah melesat dan... menancap di batang pohon

“Kupikir tadi kaubilang kau mahir,” teriak Connor.

“Jangan menyalahkanku, oke? Ini kali pertama aku mencoba untuk mengenai Chimaera,” balasku.

Aku memungut pisau baru. Connor sibuk menghindar dari tembakan api Chimaera. Setelah perutnya disabet, kurasa Chimaera itu paham, melompat menerjang Connor bukanlah ide yang bagus. Sekarang Chimaera cuma menyerang Connor dengan tembakan api dan sesekali ular hijau dari pantatnya berusaha mematuk Connor.

Aku menimbang-nimbang pisau keduaku di tangan kanan, lalu melemparkannya. Kali ini menancap tepat di mata kanan Chimaera. Chimaera itu mundur beberapa langkah dan mengaum kesakitan. Si ular hijau mencabut pisau itu dari matanya. Chimaera mengaum lebih keras. Kemudian Chimaera memandang ke arahku dengan matanya yang tersisa—sebelah mata singa, sepasang mata kambing, dan sepasang mata ular.

Aku menyumpah. Sial. Kenapa tidak terpikir olehku kalau makhluk itu akan mengincarku setelah ini? Aku buru-buru memungut pisau baru.

Chimaera mulai berlari ke arahku.

Connor berteriak, “Tidak...!”

Tapi, Chimaera itu tidak peduli. Aku mundur dengan tergesa-gesa dan melantingkan pisau tanpa membidik. Berita baiknya: pisaunya bersarang di kaki kanan depan Chimaera. Berita buruknya: aku tersandung akar pohon dan terduduk.

Chimaera mengaum pendek. Mata singanya menatapku. Ular hijaunya mendesis, lalu melecut arahku. Connor tiba di hadapanku di detik terakhir sehingga alih-alih menggigitku, ular itu justru menggigit bahu Connor.

Connor meringis. Ular itu maju sekali lagi. Connor mengayunkan pedangnya, menebas kepala ular itu hingga putus.

Chimaera mengentak-entakkan kaki kambingnya dengan liar sambil mengaum. Tubuhnya perlahan-lahan menyusut. Connor menggunakan kesempatan itu untuk maju dan menyerang. Pedangnya menyasar tubuh Chimaera berkali-kali.

Tubuh Chimaera terus menyusut. Ketika pada akhirnya Sedda kembali ke wujud manusianya, Connor mengubah pedangnya menjadi tombak. Ditombaknya tubuh Sedda. Tombaknya menembus tubuh Sedda dan menancap di tanah. Lalu dari tombak itu, Connor menarik tombak baru. Ditombaknya lagi tubuh Sedda. Dan begitu seterusnya sampai ada lima tombak yang menembus tubuh Sedda. Sedda berlutut dan tidak sadarkan diri.

Connor berbalik dan menghampiriku. Aku menatapnya ngeri.

“Itu akan menahannya untuk sementara,” katanya sambil mengenakan sebuah kalung berbandul kunci.

“Apa harus sampai lima tombak?” tanyaku.

“Kau kasihan padanya?” Connor balas bertanya dengan nada merendahkan.

Aku menyengap.

“Bagaimana kalau kuingatkan beberapa saat yang lalu dia berusaha untuk menggigitmu? Dan bicara soal gigitan—” Tiba-tiba Connor jatuh berlutut. Aku bergegas mendekatinya. Aku menopang tubuhnya tepat sebelum ia telungkup mencium tanah.

“Kau baik-baik saja?”

“Gigitannya melumpuhkan...” sahut Connor.

Aku membaringkan Connor di atas tanah dan menarik kerah bajunya untuk memeriksa bekas gigitan di bahunya. “Kulitmu melepuh,” beritahuku dengan panik.

“Dan mematikan,” katanya.

“Apa?”

“Gigitannya melumpuhkan dan mematikan. Aku tidak bisa menggerakkan kaki dan tanganku. Sebentar lagi aku bahkan tidak akan bisa menggerakkan kelopak mataku untuk berkedip. Seluruh kulitku bakal melepuh dan menggosong.”

“Apa ada yang bisa aku lakukan? Ada tanaman atau apa untuk mengobatimu?” Bibirku bergetar karena ketakutan. Aku belum pernah melihat orang yang sekarat sebelumnya.

Connor menggeleng. “Tapi, kalau kau ingin membantu, tolong lepaskan bajuku. Bajuku memperparah rasa sakitnya.”

Aku menurut dan melepaskan bajunya. Aku memeriksa bekas gigitannya lagi. Area pelepuhannya telah bertambah luas. Aku menyentuh area itu dengan hati-hati. Connor meringis.

“Maaf,” kataku cepat sambil menarik tangan.

“Tidak,” balas Connor. “Sentuh lagi.”

“Hah?”

“Coba sentuh lagi,” tegas Connor.

Jadi, aku menyentuh area itu lagi.

“Astaga!” seru Connor.

Aku terkejut dan menarik tangan. “Apa?”

Connor menatapku. Matanya membeliak. “Kau seorang Penyembuh!”

“Penyembuh?”

“Letakkan telapak tanganmu di atas kulitku yang melepuh dan bayangkan kulitku sembuh dengan sendirinya.”

Walau kebingungan, aku melakukan apa yang Connor instruksikan. Semakin lama aku melakukannya, telapak tanganku terasa semakin dingin. Dan—astaga! Area pelepuhannya menyusut sampai menghilang sama sekali.

“Aku bisa bergerak sekarang,” ujar Connor. Ia mengangkat tubuhnya, lalu duduk.

Kutatap telapak tanganku dengan takjub. “Apa katamu tadi? Penyembuh?”

“Ya.”

Aku mengangkat wajah, menatap Connor, menanti penjelasan.

“Legatus itu ada tiga tipe,” ia menjelaskan. “Pertarung—sepertiku, Penyihir—yang ahli membuat alam bayangan dan segel, dan Penyembuh—sepertimu.”

Keningku berkerut. “Aku cuma seorang siswa SMP beberapa saat yang lalu. Bagaimana bisa aku tiba-tiba menjadi seorang... Penyembuh?”

“Aku tadinya juga cuma seorang siswa SMP sampai aku dengan tidak sengaja mengubah sendok menjadi pisau makan,” ujar Connor. “Aku akan mengeluarkanmu dari sini.” Connor meraih kalungnya dan menggenggam kunci yang tergantung di sana.

Aku melirik Sedda. “Bagaimana dengan dia?”

“Aku akan memanggil Legatus Penyihir untuk menyegelnya.” Kemudian ia mengulurkan sebelah tangannya yang bebas kepadaku. “Pegang tanganku.”

Aku menurut dan menyambut uluran tangannya. Ketika ia menggenggam tanganku erat-erat, aku kembali merasakan sensasi ditarik dan tulang-tulang-bakal-lepas. Saat sensasi itu berakhir dan aku membuka mata, aku menemukan diriku berada di dalam mobil, sedang berbaring di kursi penumpang.

***

“KAU sudah sadar. Syukurlah...” Mom mendesah lega dari balik kemudi.

Aku mengerjap. “Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa ada di dalam mobil? Bukankah tadi kita ada di galeri?”

“Kau pingsan di galeri,” beritahu Mom.

“Pingsan?”

Mom mengangguk. “Kita sedang menuju ke rumah sakit.”

Aku mengerutkan kening. Jadi, yang tadi itu cuma mimpi?

“Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Mom.

“Aku baik-baik saja,” sahutku. “Hanya agak pusing. Kita pulang saja, Mom. Tidak usah ke rumah sakit.”

Mom menatapku lewat spion tengah. “Kau yakin?”

“Ya.”

Mom mengangguk. “Baiklah...”

Tiba di rumah, Mom menyuruhku untuk istirahat. Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar.

Aku sedang berbaring ketika Mom membuka pintu kamar sore harinya.

“Ada teman yang mencarimu,” kata Mom.

“Siapa?”

Sebagai jawabannya, Mom menyingkir dari pintu dan membiarkan seseorang masuk. Aku membelalak dan langsung menyentak tubuhku agar bangun dan duduk. “Connor...” aku bersuara, nyaris seperti mencicit.

“Hai, Darren...” balas Connor sambil tersenyum.

[]


Note: cerpen ini diikutsertakan dalam event Cerita Bulanan Kastil Fantasi bulan September.

2 komentar:

  1. Hai, it's nice fantasy short stories. I really enjoy reading it. Although I wonder if you intend to make Darren (is your protagonist name always start with D) & Connor as couple? Although I prefer hetero romance (just saying), so keep up what do you think comfort you.

    Pros:
    Gaya bahasanya rapih banget, seperti membaca buku terjemahan (I guess, you already knew it).
    Ide Incarceron dalam lukisan itu kreatif & unik. Incarceron ini apa memang ada arti umumnya yg berarti penjara? Karena saya pernah baca novel berjudul Incarceron karangan Catherine Fisher yg juga tentang penjara atau dpt inspirasi dari novel tersebut?

    Penggambaran pertarungan cukup baik dan juga unsur fantasy di sini melibatkan mitologi.

    Saya suka istilah fantasi di sini, Legatus. Dan sepertinya fighter di sini ada keahlian lain selain dari berpedang, yaitu memanipulasi elemen.

    Cons:
    Terlalu banyak faktor deus ex machina (kebetulan) dalam plotnya. Misal Darren yg ternyata ahli melempar pisau. Mungkin akan lebih mengurangi kalau diawal ada adegan Darren males pergi temenin mamanya ke museum karena lagi asyik main lempar darts. Terus Darren yg ternyata punya kekuatan penyembuh saat dubutuhkan. Terus kebetulan lain macam cincin disaat Connor butuh logam, Darren pakai cincin. Agak aneh aja anak remaja cowok pakai cincin. Apa itu cincin khusus? Karena kalau logam bebas, kenapa nggak uang receh saja?

    Awalnya sempat mikir bakal plot twist, macam ternyata Connor justru penjahatnya.
    Eniwei, saya rasa setiap novel fantasi memang ada "deus ex machina" nya sendiri.

    Maaf komennya panjang, silakan lanjutkan menulisnya, saya tunggu karya berikut :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, komentar kamu bagus banget! Ide-idenya bisa nih aku pakai kalau nanti mau ngembangin cerpen ini jadi novel. Hahaha...

      Iya, nih. Aku mau semua protagonisku namanya berawalan huruf D (meski waktu nyari nama Darren itu cukup lama, haha). Mengenai apakah aku berniat jadiin mereka couple, jawabannya: sort of. Tapi, karena cerpen ini dibatasi oleh ketentuan jumlah kata, jadinya gak ada ruang buat itu. I don't want to make that as excuse though, tapi itu juga kenapa banyak kebetulan di cerpen ini.

      Mengenai Incarceron, ya, aku memang ambil istilah itu dari novel itu. Aku belum baca sih novelnya, tapi aku tahu Incarceron di sana artinya penjara. Dan kurasa penulisnya sendiri terinspirasi dari "carcerem", bahasa Latin untuk penjara.

      Makasih komentarnya, Lina. :)

      Hapus