SUNGGUH,
menghabiskan hari Sabtu dengan mengunjungi galeri lukisan sama sekali bukan
ideku. Itu ide Mom. Kalau kalian tanya aku, aku akan dengan senang hati
membungkus diri dengan selimut dan tidur sepanjang hari. Tapi, Mom berpendapat
lain. Menurutnya, akhir pekan itu harus dihabiskan dengan hal-hal yang
bermanfaat, seperti menyeret putra satu-satunya ke sebuah galeri lukisan membosankan
di New Bond Street.
“Mom, demi Tuhan,
ini hari Sabtu!” erangku saat Mom menarik selimutku.
“Aku tahu,” balas
Mom riang. “Dan kau sudah berjanji akan menemaniku ke D’Art hari ini.”
Masih berbaring,
aku mengerutkan kening, mengingat-ingat. Mom pasti melihat itu karena kemudian
ia berkata, “Jangan berlagak lupa. Kau sudah berjanji Selasa kemarin.”
Aku melebarkan
mata. “Kau pasti tidak berpikir aku serius waktu itu.”
Mom diam saja.
“Mom!” aku
berseru. “Kau tidak bisa menganggap aku serius waktu itu. Aku berjanji hanya
agar kau memberiku uang untuk membeli sepatu baru. Aku sama sekali tidak
serius.”
“Well, aku menganggap serius semua janji
yang diucapkan oleh—khususnya—laki-laki.”
“Tidak adil,”
protesku. “Sepatu lamaku sudah tidak layak pakai. Aku butuh sepatu baru. Kau
tidak boleh mengambil keuntungan dari sepatu lamaku yang tidak layak pakai.”
“Pelajaran
pertama hari ini, Darren,” kata Mom, “jangan mengucapkan janji yang tidak mau
kaupenuhi.”
“Kecuali kalau kau
punya alasan mendesak seperti sepatu lama tidak layak pakai yang butuh segera
diganti,” tandasku datar. Aku menarik selimut sampai melewati kepala, baru
memejamkan mata selama satu detik ketika selimutku kembali tertarik ke bawah.
“Darren, bangun.”
“Tidak.”
“Darren Brian
Johnson...!”
Pada akhirnya,
aku benar-benar menemani Mom ke D’Art. Kalau orangtua kalian sudah memanggil
kalian dengan nama depan-tengah-belakang, kusarankan, nih: berhenti sajalah
bersikap keras kepala. Karena kalau tidak, biasanya hal-hal buruk bakal
menimpamu.
Aku mengekori Mom
pindah dari satu ruangan ke ruangan lain, dari satu koridor ke koridor lain
tanpa semangat. Aku tidak habis pikir apa yang menarik dari sebuah galeri
lukisan. Ruangan dan koridor yang lengang, dinding yang dipasangi
lukisan—menurutku, itu semua membosankan.
Kami beranjak ke
ruangan lain. Mom langsung menghampiri sisi kanan ruangan. Aku mendesah dan
mengedar pandangan. Saat itulah aku melihat lukisan itu, tergantung di sisi
kiri ruangan.
Sekilas, lukisan
itu tampak seperti lukisan hutan biasa. Tapi, ada sesuatu mengenai lukisan itu
yang menarikku untuk terus mengamati deretan pepohonannya, warna dedaunannya, dan
akar-akar yang mencuat keluar dari tanah.
Aku maju satu
langkah. Lalu aku mendengar sesuatu—suara napas yang terengah-engah. Sontak aku
menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada orang lain di dekatku. Aku berbalik
ke belakang, hanya untuk mendapati semua orang sedang sibuk melihat-lihat
lukisan, termasuk Mom.
Aku kembali
menatap lukisan di depanku. Suara itu masih terdengar, lamat-lamat. Aku
mengerutkan kening, mencoba untuk mendengar dengan lebih seksama.
Dari lukisan, batinku terkejut. Suara itu berasal dari lukisan!
Secara intuitif
aku menatap lukisan hutan itu lebih lekat. Dan suara itu semakin jelas. Lalu
tiba-tiba suara itu menghilang, digantikan oleh suara Mom.
“Darren, ada
apa?”
Aku mengerjap,
menoleh ke Mom, dan menggeleng. “Tidak... Hanya saja... aku seperti mendengar
sesuatu dari lukisan ini,” kataku.
“Mendengar
sesuatu?”
Aku mengangguk.
“Kau mendengar
sesuatu dari lukisan?”
Aku mengangguk
lagi.
“Terakhir aku
cek, lukisan itu untuk dilihat, bukan didengar,” kata Mom sarkastis.
“Aku
mendengarnya, Mom. Ada suara... seperti napas yang kepayahan,” aku berkeras.
Mom mendesah.
“Dengar, jika ini adalah salah satu trikmu agar kita bisa segera pulang, kau
tidak akan berhasil.”
“Mom, aku tidak—”
Mom menyelaku
dengan gelengan kepala.
Aku mendecak.
Kemudian aku membaca papan keterangan mengenai lukisan hutan itu. Papannya
digantung di atas tiang penyangga di depan lukisan.
“Incarceron...”
“Apa?” tanya Mom.
“Judul lukisannya
Incarceron,” kataku tanpa menatap Mom. “Incarceron merupakan alam bayangan yang
dibuat untuk mengurung penjahat paling berbahaya.”
Aku menoleh. Mom
menatapku sambil mengangkat alis sedemikian rupa, seolah-olah aku baru saja
memberitahunya anjing peliharaan tetangga kami punya sayap dan bisa terbang
jungkir-balik.
“Apa?” tanyaku.
“Apa yang baru
kaulakukan?”
“Membaca keterangan
lukisannya,” sahutku.
“Cukup dengan
imajinasi liarmu, Darren,” ujar Mom. “Koleksi novel fantasimu itu benar-benar
tidak memberikan manfaat.”
Aku mengernyit.
“Apa yang Mom bicarakan?”
“Bagaimana kau
bisa membaca keterangan yang berisi simbol-simbol seperti itu?” Mom balas
bertanya.
“Simbol apa—” Aku
berpaling ke papan keterangan tadi dan langsung terdiam. Isinya memang hanya
simbol-simbol. Tapi, bagaimana bisa? Aku bersumpah, tadi papan itu berisi
huruf-huruf dan aku bisa membacanya selayaknya membaca buku. Tapi, sekarang—
Kau bisa mendengarku?
Aku membeku di
tempat. Kutatap lukisan Incarceron itu.
Hei, kau bisa mendengarku?
Suara laki-laki.
Terdengar mendesak.
Aku mengecek
sekitarku. Mom sudah kembali sibuk melihat-lihat lukisan.
“Siapa kau?”
tanyaku berbisik.
Aku butuh bantuanmu!
“Kau itu lukisan?”
Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Aku butuh
bantuan.
“Kau itu lukisan
yang bisa bicara?”
Bukan! Lukisan itu—atau apalah itu—terdengar kesal. Aku bukan lukisan. Aku ada di dalamnya.
“Bagaimana kau
bisa ada di dalam lukisan?”
Aku benar-benar tidak punya waktu untuk
menjelaskan. Dia sedang mengejarku. Dan dia berhasil mengambil gelang dan
kunciku. Aku tidak punya logam sekarang. Kalau dia menemukanku, aku tidak akan
bisa melawan.
“Dia siapa?”
Aku memerlukan logam. Apa kau punya sesuatu yang
terbuat dari logam?
Aku melirik
tangan kiriku. “Ya, aku punya cincin.”
Bagus. Sekarang sentuh lukisan di depanmu.
“Untuk apa?”
Sentuh sajalah! Suara itu menyentak. Lalu dengan suara yang lebih
pelan ia menambahkan, tolong.
Aku, akhirnya,
menurut. Aku menyentuh Incarceron dengan tangan kanan. Lukisan itu bergetar
sebentar. Lalu tangan kananku menembus permukaan lukisan itu. Aku bahkan tidak
sempat untuk terkejut karena di detik berikutnya aku merasa ada sesuatu yang
menarikku ke dalam lukisan itu. Bayangan-bayangan entah apa berkelebat begitu
cepat di depan mataku. Kepala dan kakiku terasa ditarik dari dua arah yang berbeda.
Tulang-tulangku rasanya bakal lepas dari sendinya masing-masing. Dan aku merasa
mual. Dan aku rasa ini ada hubungannya dengan bayangan-bayangan itu. Jadi, aku
memutuskan untuk memejamkan mata. Ketika sensasi ditarik dan
tulang-tulang-bakal-lepas itu berakhir dan aku membuka mata, aku tidak lagi
melihat bayangan-bayangan itu, tidak juga lukisan Incarceron itu.
Yang aku lihat
hanyalah deretan pepohonan entah apa.
***
“KAU baik-baik
saja?”
Aku mengangguk.
“Hanya agak mual.” Lalu aku tersentak dan bersicepat menoleh ke kanan. Di sana
berdiri seorang laki-laki yang kelihatannya seumuran denganku. Ia mengenakan
pakaian serba hitam dan wajahnya kotor dan berminyak. “Siapa kau?”
“Connor,” jawab laki-laki
itu. Ia mengatur napas sebentar, kemudian, “Aku yang berbicara denganmu tadi.”
Aku memandang
sekeliling. “Ini di mana?”
“Incarceron.”
Aku membelalak.
“Incarceron seperti yang tertulis di papan keterangan itu?”
Connor
mengangguk.
“Hutan ini mengurung
penjahat paling berbahaya?”
Connor tidak
langsung menjawab. Ia memandang berkeliling dengan waspada. Lalu, “Ya.”
“Siapa yang
dikurung di sini? Apa dia yang mengejarmu?”
Connor menatapku,
sedikit menyipit. “Kau ini penuh pertanyaan.”
“Well, ini kali pertama aku masuk ke
dalam lukisan,” kataku. Lalu aku terdiam mendadak. “Astaga, aku masuk ke dalam
lukisan! Apa aku benar-benar masuk ke dalam lukisan? Bagaimana bisa? Apa yang
sebenarnya sedang terjadi?” cerocosku panik. “Aku pasti bermimpi. Jari! Aku
harus menghitung jariku. Jarimu bertambah banyak di dalam mimpi.” Lalu aku
menghitung jariku dengan cepat. “Sepuluh! Aku tidak sedang bermimpi?” Aku
menoleh menatap Connor.
Ia menatapku
sambil mengerutkan alis, seolah aku ini orang gila. “Kau tidak sedang
bermimpi.”
“Apa yang
sebenarnya terjadi?”
“Ceritanya
panjang.”
“Versi singkatnya
kalau begitu.”
Connor mendecak.
“Pernah dengar teori yang menyatakan kalau ada dunia lain selain dunia yang
kita tempati?”
Aku mengangguk.
“Dunia itu ada. Dunia
itu bernama Ethra.”
“Siapa kau?”
“Connor.”
Aku menggeleng.
“Bukan, bukan... Maksudku, kau ini apa? Manusia, jin—”
“Legatus,” ia
menyela. Aku mengernyit. “Itu cuma sebutan. Aku masih manusia—hanya saja bukan
manusia biasa. Aku duta dari Bumi untuk Ethra.”
“Duta?”
“Aku bisa
bolak-balik dari Bumi ke Ethra dan sebaliknya.”
“Lewat lukisan?”
“Lukisan, cermin,
tembok, apa pun yang menghubungkan Bumi dengan Ethra.”
“Apa yang
kaulakukan di sini?”
“Patroli.
Tadinya.”
“Patroli?”
Connor menatapku
lurus-lurus. “Bisakah kau berhenti bertanya?”
“Bisakah kau berhenti
bersikap misterius? Aku butuh penjelasan—sejelas-jelasnya. Aku benar-benar
tidak tahu apa yang sedang terjadi dan itu membuatku—rasanya kepalaku bakal
meledak.”
Connor mendesah
keras-keras. “Aku sedang patroli untuk mengecek tempat ini saat dia
menyerangku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa berkeliaran. Aku tidak tahu
bagaimana dia bisa melepas segelnya. Tapi, dia menyerangku saat aku sedang
tidak siap dan dia berhasil mengambil gelang dan kunciku.”
“Dia siapa?”
desakku. Aku sudah menanyakan ini dua kali. Dan kalau ia tidak menjawabku kali
ini, aku akan... aku akan menyeretnya dan melemparnya ke batang pohon terdekat.
Kurasa aku bisa melakukan itu meski otot lengan dan urat-urat yang menjalar di
sepanjang lengannya menegaskan kalau itu tidak akan jadi pekerjaan yang mudah.
“Sedda Manbrook,”
sahutnya. “Penjahat yang dikurung di sini.”
“Lalu kunci apa
yang kaumaksud?”
“Kunci untuk
masuk dan keluar dari sini.”
“Tapi, kau
memasukkanku ke sini.”
“Selama aku
berada di sini, aku bisa mengizinkan siapa saja masuk,” Connor menerangkan.
“Tapi, tanpa kunciku, aku tidak bisa keluar dari sini.”
“Jadi, penjahat
itu mengambil kuncimu untuk keluar dari sini?”
Connor menggeleng
dengan raut wajah serius. “Hanya aku yang bisa memakai kunci itu. Dia mengambil
kunciku supaya aku tidak bisa keluar dari sini. Dia berencana menangkap dan menjadikanku
umpan untuk menarik Legatus lain agar datang menyelamatkanku. Dan saat Legatus
lain membuka portal untuk masuk kemari, dia akan menggunakan portal itu untuk
melarikan diri.”
“Apa yang akan
kaulakukan sekarang?”
Raut wajahnya
bertambah serius. “Aku harus mengalahkannya.”
“Seolah kau bisa
saja,” ujar sebuah suara.
Connor dan aku
bersicepat berputar ke belakang. Seorang pria berdiri di sana. Tubuhnya besar,
kekar, dan dipenuhi bekas luka. Wajahnya tampak galak dengan tulang-tulang
tengkorak yang menonjol. Setiap inci tubuhnya memancarkan pertanda bahaya.
Connor maju satu
langkah. Aku diam di tempat, ragu bagaimana seorang remaja sepertinya akan
mengalahkan seorang pria dewasa yang besar tubuhnya nyaris dua kali lebih
besar.
“Sejujurnya aku
agak tersinggung mereka mengutus Legatus remaja sepertimu untuk mengecekku.
Rasanya aku terlalu diremehkan,” kata Sedda.
“Kau tahu mereka
mengutus orang yang tepat. Dan kau tahu kau sebenarnya takut padaku. Itu
sebabnya kau mengambil gelangku,” balas Connor dengan tenang.
Sedda terdiam. Well, setidaknya Connor lumayan dalam
mengintimidasi. Masalahnya, kau tidak bisa mengalahkan seseorang hanya dengan
mengintimidasinya.
“Darren,
cincinnya?” kata Connor.
“Bagaimana kau
bisa tahu namaku?” aku bertanya.
“Aku dengar semua
percakapanmu dengan ibumu tadi,” sahut Connor tidak sabar. “Cincinnya?”
Aku melepas
cincinku dari jari tengah. Kuberikan cincin itu padanya.
Connor
menggenggam cincin itu. Lalu dari dalam genggamannya mencuat sebuah pedang yang
warnanya sama dengan warna cincinku, perak.
Aku melompat
mundur. “Woah, bagaimana kau melakukannya?”
“Setiap Legatus
punya pusaka mereka masing-masing. Pusakaku adalah kemampuan memanipulasi
logam,” beritahu Connor.
“Well...,” ujar Sedda. “Kau ingin
bertarung? Aku akan meladenimu.”
Kemudian sesuatu
terjadi pada wajah Sedda—wajahnya bergelegak seperti air mendidih.
Gelembung-gelembung merayap di balik kulit wajahnya. Ia menjatuhkan diri dan
bertumpu pada kedua tangan dan kakinya. Lengan dan pahanya membesar.
Sesungguhnya, seluruh tubuhnya membesar. Wajahnya sekarang berbentuk seperti bukan
wajah manusia.
“Dia itu apa?”
tanyaku ngeri.
“Shapeshifters,”
jawab Connor. Sikap tubuhnya waspada.
“Maksudmu, dia
bisa berubah bentuk?”
Connor
mengangguk.
“Bentuk apa yang
dia ambil?”
Tapi, pria itu
sudah berubah bentuk sepenuhnya. Menjadi singa. Namun, bukan singa biasa karena
ia punya tubuh dan kaki kambing. Selain kepala singa, ia juga punya kepala
kambing yang mencuat dari punggungnya. Dan di tempat di mana ekornya seharusnya
berada, mendesis seekor ular berwarna hijau gelap. Tanpa Connor beritahu pun
aku tahu makhluk apa itu. Itu adalah...
“Chimaera,” sahut
Connor. Ia mengangkat pedangnya lebih tinggi. Dengan menggenggam pedang begitu,
ia memang tampak lebih menjanjikan. Tapi, tetap saja aku ragu bagaimana ia akan
mengalahkan seekor singa yang besarnya tiga kali lipat dari singa pada umumnya.
Terlebih ketika singa itu mendapat bonus sebuah kepala kambing di punggungnya
dan seekor ular sepanjang tiga meter sebagai ekornya.
Connor menoleh ke
arahku. Dari gagang pedangnya, ia menarik keluar sebuah pedang baru dan
mengangsurkannya padaku.
“Apa?” tanyaku
defensif.
Connor
menempelkan bilah pedang itu ke dadaku.
“Aku tidak akan
bertarung, kalau itu yang kaupikirkan,” ujarku cepat-cepat.
“Cuma untuk
berjaga-jaga,” katanya. Aku menerima pedang itu dengan gemetaran. Connor
menatapku. “Dengar, aku minta maaf karena sudah melibatkanmu. Tapi, aku tidak
punya pilihan lain. Aku tidak bisa mengalahkannya tanpa logam.”
Aku mengangguk.
Connor tersenyum
untuk pertama kalinya. “Bersembunyilah. Aku akan melindungimu, aku janji.”
Aku mengangguk
lagi. Setelah itu aku melesat ke balik sebuah batang pohon.
Chimaera mengaum.
Bulu kudukku meremang. Aku mengintip dari balik pohon. Connor dan Chimaera
bergerak berhadap-hadapan membentuk lingkaran. Lalu Chimaera melompat menerjang
Connor. Connor berguling di tanah dan menyabet perut Chimaera dengan pedang.
Makhluk itu mendarat, mengentak, dan mengaum kesakitan.
Connor berbalik
dan mengacungkan pedangnya dengan mantap.
Sepertinya ia punya peluang untuk menang.
Chimaera mengaum
dan menyemburkan api dari mulutnya.
Atau tidak.
Connor berguling
menghindari api tersebut. Kemudian ekor Chimaera yang adalah seekor ular
melesat ke depan. Connor mengayunkan pedangnya ke udara. Ular itu mundur dengan
cepat dan mendesis tajam. Lalu kepala kambing Chimaera menoleh ke arahku. Aku menarik
kepalaku kembali ke balik batang pohon. Aku menunduk dan menyadari kalau kedua
kakiku bergetar. Aku menjatuhkan pedang dan terduduk di tanah sementara pertarungan
antara Connor dan makhluk buas itu masih terus berlanjut.
Aku memejamkan
mata. Aku harus melakukan sesuatu. Chimaera... Aku pernah membaca sesuatu
tentang makhluk itu. Aku harus mengingat-ingat apa yang aku baca. Mungkin ada
sesuatu yang berguna. Chimaera... Chimaera... Apa yang aku ketahui tentang
makhluk itu? Aku—sial, aku tidak bisa mengingatnya. Aku terlalu panik.
Oke, oke... Aku
menarik panjang, lalu mengembuskannya—aku mengulanginya sampai aku merasa lebih
tenang. Chimaera. Makhluk mitologi. Hibrida dari singa, kambing, dan ular. Bernapas
api. Anak Typhon dan Echidna. Saudara Cerberus dan Hydra. Akhirnya dikalahkan
oleh Bellerophon dan Pegasus. Bellerophon menunggangi Pegasus dan sementara
Pegasus terbang, Bellerophon menombak Chimaera hingga mati.
Itu dia!
Bellerophon berhasil mengalahkan Chimaera karena ada Pegasus yang membawanya
terbang untuk menghindari napas api Chimaera. Itu yang dibutuhkan kalau kau
menghadapi Chimaera. Jarak! Connor butuh senjata yang bisa digunakan dari jarak
jauh. Pedang sudah pasti bukan salah satunya.
“Hei!” aku
berteriak.
“Apa?” Connor
balas berteriak.
Aku mengintip.
Connor tampak kepayahan. “Kau tidak bisa mengalahkannya dengan pedang. Kau
butuh senjata untuk pertarungan jarak jauh.”
“Seperti?”
“Busur panah!”
seruku.
“Busur punya
tali. Aku tidak bisa membuat tali dari logam,” balas Connor.
“Pisau belati?”
“Aku tidak mahir
melempar pisau belati.”
“Aku mahir!”
Connor mundur dan
menoleh ke arahku. “Apa?”
Chimaera
memanfaatkan kesempatan itu untuk menyemburkan kolom api. Aku membelalak.
“Awas!”
Connor berhasil menghindar
di detik-detik terakhir. Aku menyambar pedangku dan melemparkannya ke Connor.
Pedang itu mendarat di dekat kakinya.
“Kau bisa
mengubahnya?”
Sebagai
jawabannya, Connor memungut pedang itu, mengubahnya menjadi empat pisau belati,
dan melemparkannya padaku. Aku memungutnya, lalu berlari keluar dari
persembunyian. Aku berhenti agak jauh di belakang Connor. Aku menjatuhkan tiga
pisau, menyisakan satu di tangan kanan. Kemudian aku mencoba untuk fokus.
Sebentar kemudian, pisau itu telah melesat dan... menancap di batang pohon
“Kupikir tadi
kaubilang kau mahir,” teriak Connor.
“Jangan menyalahkanku,
oke? Ini kali pertama aku mencoba untuk mengenai Chimaera,” balasku.
Aku memungut pisau
baru. Connor sibuk menghindar dari tembakan api Chimaera. Setelah perutnya
disabet, kurasa Chimaera itu paham, melompat menerjang Connor bukanlah ide yang
bagus. Sekarang Chimaera cuma menyerang Connor dengan tembakan api dan sesekali
ular hijau dari pantatnya berusaha mematuk Connor.
Aku menimbang-nimbang
pisau keduaku di tangan kanan, lalu melemparkannya. Kali ini menancap tepat di
mata kanan Chimaera. Chimaera itu mundur beberapa langkah dan mengaum
kesakitan. Si ular hijau mencabut pisau itu dari matanya. Chimaera mengaum
lebih keras. Kemudian Chimaera memandang ke arahku dengan matanya yang tersisa—sebelah
mata singa, sepasang mata kambing, dan sepasang mata ular.
Aku menyumpah.
Sial. Kenapa tidak terpikir olehku kalau makhluk itu akan mengincarku setelah
ini? Aku buru-buru memungut pisau baru.
Chimaera mulai
berlari ke arahku.
Connor berteriak,
“Tidak...!”
Tapi, Chimaera
itu tidak peduli. Aku mundur dengan tergesa-gesa dan melantingkan pisau tanpa
membidik. Berita baiknya: pisaunya bersarang di kaki kanan depan Chimaera.
Berita buruknya: aku tersandung akar pohon dan terduduk.
Chimaera mengaum pendek.
Mata singanya menatapku. Ular hijaunya mendesis, lalu melecut arahku. Connor
tiba di hadapanku di detik terakhir sehingga alih-alih menggigitku, ular itu
justru menggigit bahu Connor.
Connor meringis.
Ular itu maju sekali lagi. Connor mengayunkan pedangnya, menebas kepala ular
itu hingga putus.
Chimaera
mengentak-entakkan kaki kambingnya dengan liar sambil mengaum. Tubuhnya
perlahan-lahan menyusut. Connor menggunakan kesempatan itu untuk maju dan
menyerang. Pedangnya menyasar tubuh Chimaera berkali-kali.
Tubuh Chimaera
terus menyusut. Ketika pada akhirnya Sedda kembali ke wujud manusianya, Connor
mengubah pedangnya menjadi tombak. Ditombaknya tubuh Sedda. Tombaknya menembus
tubuh Sedda dan menancap di tanah. Lalu dari tombak itu, Connor menarik tombak
baru. Ditombaknya lagi tubuh Sedda. Dan begitu seterusnya sampai ada lima
tombak yang menembus tubuh Sedda. Sedda berlutut dan tidak sadarkan diri.
Connor berbalik
dan menghampiriku. Aku menatapnya ngeri.
“Itu akan
menahannya untuk sementara,” katanya sambil mengenakan sebuah kalung berbandul
kunci.
“Apa harus sampai
lima tombak?” tanyaku.
“Kau kasihan padanya?”
Connor balas bertanya dengan nada merendahkan.
Aku menyengap.
“Bagaimana kalau
kuingatkan beberapa saat yang lalu dia berusaha untuk menggigitmu? Dan bicara
soal gigitan—” Tiba-tiba Connor jatuh berlutut. Aku bergegas mendekatinya. Aku
menopang tubuhnya tepat sebelum ia telungkup mencium tanah.
“Kau baik-baik
saja?”
“Gigitannya
melumpuhkan...” sahut Connor.
Aku membaringkan
Connor di atas tanah dan menarik kerah bajunya untuk memeriksa bekas gigitan di
bahunya. “Kulitmu melepuh,” beritahuku dengan panik.
“Dan mematikan,”
katanya.
“Apa?”
“Gigitannya
melumpuhkan dan mematikan. Aku tidak bisa menggerakkan kaki dan tanganku. Sebentar
lagi aku bahkan tidak akan bisa menggerakkan kelopak mataku untuk berkedip.
Seluruh kulitku bakal melepuh dan menggosong.”
“Apa ada yang
bisa aku lakukan? Ada tanaman atau apa untuk mengobatimu?” Bibirku bergetar
karena ketakutan. Aku belum pernah melihat orang yang sekarat sebelumnya.
Connor
menggeleng. “Tapi, kalau kau ingin membantu, tolong lepaskan bajuku. Bajuku
memperparah rasa sakitnya.”
Aku menurut dan
melepaskan bajunya. Aku memeriksa bekas gigitannya lagi. Area pelepuhannya
telah bertambah luas. Aku menyentuh area itu dengan hati-hati. Connor meringis.
“Maaf,” kataku
cepat sambil menarik tangan.
“Tidak,” balas
Connor. “Sentuh lagi.”
“Hah?”
“Coba sentuh
lagi,” tegas Connor.
Jadi, aku
menyentuh area itu lagi.
“Astaga!” seru
Connor.
Aku terkejut dan
menarik tangan. “Apa?”
Connor menatapku.
Matanya membeliak. “Kau seorang Penyembuh!”
“Penyembuh?”
“Letakkan telapak
tanganmu di atas kulitku yang melepuh dan bayangkan kulitku sembuh dengan
sendirinya.”
Walau
kebingungan, aku melakukan apa yang Connor instruksikan. Semakin lama aku
melakukannya, telapak tanganku terasa semakin dingin. Dan—astaga! Area pelepuhannya
menyusut sampai menghilang sama sekali.
“Aku bisa
bergerak sekarang,” ujar Connor. Ia mengangkat tubuhnya, lalu duduk.
Kutatap telapak
tanganku dengan takjub. “Apa katamu tadi? Penyembuh?”
“Ya.”
Aku mengangkat
wajah, menatap Connor, menanti penjelasan.
“Legatus itu ada
tiga tipe,” ia menjelaskan. “Pertarung—sepertiku, Penyihir—yang ahli membuat
alam bayangan dan segel, dan Penyembuh—sepertimu.”
Keningku
berkerut. “Aku cuma seorang siswa SMP beberapa saat yang lalu. Bagaimana bisa
aku tiba-tiba menjadi seorang... Penyembuh?”
“Aku tadinya juga
cuma seorang siswa SMP sampai aku dengan tidak sengaja mengubah sendok menjadi
pisau makan,” ujar Connor. “Aku akan mengeluarkanmu dari sini.” Connor meraih
kalungnya dan menggenggam kunci yang tergantung di sana.
Aku melirik
Sedda. “Bagaimana dengan dia?”
“Aku akan
memanggil Legatus Penyihir untuk menyegelnya.” Kemudian ia mengulurkan sebelah
tangannya yang bebas kepadaku. “Pegang tanganku.”
Aku menurut dan
menyambut uluran tangannya. Ketika ia menggenggam tanganku erat-erat, aku
kembali merasakan sensasi ditarik dan tulang-tulang-bakal-lepas. Saat sensasi
itu berakhir dan aku membuka mata, aku menemukan diriku berada di dalam mobil,
sedang berbaring di kursi penumpang.
***
“KAU sudah sadar.
Syukurlah...” Mom mendesah lega dari balik kemudi.
Aku mengerjap. “Apa
yang terjadi? Bagaimana aku bisa ada di dalam mobil? Bukankah tadi kita ada di
galeri?”
“Kau pingsan di
galeri,” beritahu Mom.
“Pingsan?”
Mom mengangguk.
“Kita sedang menuju ke rumah sakit.”
Aku mengerutkan
kening. Jadi, yang tadi itu cuma mimpi?
“Bagaimana
keadaanmu sekarang?” tanya Mom.
“Aku baik-baik
saja,” sahutku. “Hanya agak pusing. Kita pulang saja, Mom. Tidak usah ke rumah
sakit.”
Mom menatapku
lewat spion tengah. “Kau yakin?”
“Ya.”
Mom mengangguk.
“Baiklah...”
Tiba di rumah,
Mom menyuruhku untuk istirahat. Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar.
Aku sedang
berbaring ketika Mom membuka pintu kamar sore harinya.
“Ada teman yang
mencarimu,” kata Mom.
“Siapa?”
Sebagai
jawabannya, Mom menyingkir dari pintu dan membiarkan seseorang masuk. Aku
membelalak dan langsung menyentak tubuhku agar bangun dan duduk. “Connor...”
aku bersuara, nyaris seperti mencicit.
“Hai, Darren...”
balas Connor sambil tersenyum.
[]
Hai, it's nice fantasy short stories. I really enjoy reading it. Although I wonder if you intend to make Darren (is your protagonist name always start with D) & Connor as couple? Although I prefer hetero romance (just saying), so keep up what do you think comfort you.
BalasHapusPros:
Gaya bahasanya rapih banget, seperti membaca buku terjemahan (I guess, you already knew it).
Ide Incarceron dalam lukisan itu kreatif & unik. Incarceron ini apa memang ada arti umumnya yg berarti penjara? Karena saya pernah baca novel berjudul Incarceron karangan Catherine Fisher yg juga tentang penjara atau dpt inspirasi dari novel tersebut?
Penggambaran pertarungan cukup baik dan juga unsur fantasy di sini melibatkan mitologi.
Saya suka istilah fantasi di sini, Legatus. Dan sepertinya fighter di sini ada keahlian lain selain dari berpedang, yaitu memanipulasi elemen.
Cons:
Terlalu banyak faktor deus ex machina (kebetulan) dalam plotnya. Misal Darren yg ternyata ahli melempar pisau. Mungkin akan lebih mengurangi kalau diawal ada adegan Darren males pergi temenin mamanya ke museum karena lagi asyik main lempar darts. Terus Darren yg ternyata punya kekuatan penyembuh saat dubutuhkan. Terus kebetulan lain macam cincin disaat Connor butuh logam, Darren pakai cincin. Agak aneh aja anak remaja cowok pakai cincin. Apa itu cincin khusus? Karena kalau logam bebas, kenapa nggak uang receh saja?
Awalnya sempat mikir bakal plot twist, macam ternyata Connor justru penjahatnya.
Eniwei, saya rasa setiap novel fantasi memang ada "deus ex machina" nya sendiri.
Maaf komennya panjang, silakan lanjutkan menulisnya, saya tunggu karya berikut :D
Wah, komentar kamu bagus banget! Ide-idenya bisa nih aku pakai kalau nanti mau ngembangin cerpen ini jadi novel. Hahaha...
HapusIya, nih. Aku mau semua protagonisku namanya berawalan huruf D (meski waktu nyari nama Darren itu cukup lama, haha). Mengenai apakah aku berniat jadiin mereka couple, jawabannya: sort of. Tapi, karena cerpen ini dibatasi oleh ketentuan jumlah kata, jadinya gak ada ruang buat itu. I don't want to make that as excuse though, tapi itu juga kenapa banyak kebetulan di cerpen ini.
Mengenai Incarceron, ya, aku memang ambil istilah itu dari novel itu. Aku belum baca sih novelnya, tapi aku tahu Incarceron di sana artinya penjara. Dan kurasa penulisnya sendiri terinspirasi dari "carcerem", bahasa Latin untuk penjara.
Makasih komentarnya, Lina. :)