AKU turun dari
panggung yang hanya beberapa sentimeter lebih tinggi dari lantai kedai wine ini. Suara sepatu yang beradu dengan
lantai kayu mengiringiku kembali ke mejaku. Aku mengempaskan diri ke kursi
tinggi, lalu mengecek ponselku sebentar. Tidak ada panggilan maupun pesan
masuk. Menyelipkan ponsel kembali ke saku celana, aku mengangkat wajah dan
melihat Asher tengah berjalan ke arahku dengan segelas wine di atas nampan.
“Merlot,” katanya.
Aku tidak memesan Merlot. Tapi itu sama sekali tidak mengejutkan.
Aku mengangkat alis, menatap gelas di bawah hidungku. Bibir gelasnya
berkilau dengan warna kuning keemasan, memantulkan cahaya lampu yang tergantung
rendah dari langit-langit.
“Mau memberitahuku siapa namanya sekarang?” tanyaku.
Aku mendongak. Asher mengulas senyum ramah. “Maaf, Mr. Kurt, tapi saya juga
tidak tahu.”
“Bagaimana kalau kautunjuk saja orangnya?”
“Sayang sekali, Sir,” ucap Asher.
“Saya dilarang untuk itu.”
Mulutku baru saja membuka ketika Asher menyela. “Dan kalau Anda bertanya
kenapa, jawaban saya akan selalu sama—karena saya menghormati privasi pelanggan
kami.”
Aku membuka mulut lagi. Sekali lagi Asher menyela. “Tip masih tidak akan
berhasil, Sir.”
Itu membuatku terkekeh. “Percuma saja membujukmu, bukan begitu?”
Asher tersenyum simpul. Matanya yang berwarna cokelat terang berkilat
jenaka. “Benar, Sir.”
Aku mendesah, lalu bersandar.
“Silakan panggil saya jika Anda menginginkan sesuatu.” Dengan berkata
seperti itu, Asher pun berlalu, meninggalkan aku bersama segelas Merlot.
Aku meraih gelas itu. Jemariku melingkar di kakinya yang ramping dan
tinggi. Suara Asher kembali terngiang, dari sebulan yang lalu, saat aku
menerima wine yang tidak pernah aku
pesan untuk pertama kalinya.
“Anda harus menghidu aromanya dulu, Sir,”
begitu katanya saat aku baru akan menyesap—menenggak—Chardonnay, anggurku yang
pertama.
Aku mengangkat alis.
Asher menambahkan, “Wine bukan
hanya tentang rasa, Sir, tapi juga
aroma. Itu yang membedakan wine
dengan minuman lainnya, yang membuatnya istimewa.”
Menuruti sarannya, aku pun mendekatkan bibir gelas ke hidungku, menghidu
aromanya.
“Pelan-pelan, Sir,” kata Asher.
Jadi, aku pun menghidu dengan pelan. Wangi jeruk nipis, vanila, dan permen
mengalir ke dalam hidungku, membiusku.
“Bagaimana?” Asher bertanya.
“Seperti musim semi,” kataku, nyaris tanpa sadar.
Asher tersenyum dengan sebentuk kepuasan, membuatku menyimpulkan kalau itu
juga yang ia pikirkan saat ia mencicipi Chardonnay—musim semi.
Sekarang aku menghidu aroma Merlot. Merlot-ku yang pertama. Awalnya, aku
mencium wangi ceri yang berbalut biji kopi. Lalu ketika aku menghela napas
lebih dalam, aku bisa membaui tanah yang basah, seolah-olah Merlot ini disuling
dari dalam sana—dari dalam tanah basah.
Aku menggoyang gelasku sejenak sebelum akhirnya menghirup cairan berwarna
merah gelap itu. Merlot tergelincir ke dalam tenggorokanku, meninggalkan
lidahku dengan rasa buah plum, ceri, dan lada hitam. Meletakkan gelas, aku lalu
mengedar pandangan.
Kedai wine ini bernama Enolo dan tidak
terlalu luas. Hanya ada beberapa meja dan kursi tinggi. Sebuah lampu
menggantung rendah di atas masing-masing meja. Sumber penerangan yang lain datang
dari cahaya lampu-lampu di jalan North
Clark yang masuk lewat jendela-jendela yang tinggi dan besar. Rak-rak wine berdiri di belakang meja bartender.
Ukuran sekatnya beragam, dan di masing-masing sekat itu terdapat satu atau dua
botol wine yang tampak antik,
diletakkan dalam posisi tidur.
Aku tidak tahu apakah semua kedai wine
identik dengan ini—lantai yang terbuat dari kayu, lampu yang mengantung rendah,
jendela yang tinggi-besar, dan rak-rak wine
dengan sekat berbeda ukuran. Aku tidak pernah mengunjungi kedai wine sebelum ini. Sesungguhnya, kurasa
aku tidak akan pernah masuk ke Enolo atau kedai wine mana pun kalau saja aku tidak mendapat tawaran untuk mengisi live music di sini setiap hari Rabu dan
Sabtu.
Aku mengembuskan napas dan kembali menekuri gelasku. Wine gratisku yang kesembilan. Seseorang yang
meminta-agar-identitasnya-dirahasiakan (begitu kata Asher) rutin mengirimiku
segelas wine sejak satu bulan yang
lalu. Yang pertama Chardonnay, lalu Muscat, lalu beberapa nama yang tidak aku
ingat. Dua yang terakhir adalah Zinfandel dan ini, Merlot.
Sebuah pesan menyertai setiap gelas, selalu.
Yang menyertai Chardonnay berisikan: aku
menyukai suaramu—jadi ia ini semacam penggemar rahasia yang lebih memilih
untuk menghadiahi idolanya dengan segelas wine
daripada sekotak cokelat berbentuk hati.
Pesan Muscat: siapa namamu? Aku tahu “Kurt”
cuma nama panggung, yang aku balas dengan: siapa namamu?
Pesannya yang lain masing-masing berbunyi:
Siapa penyanyi favoritmu?—Adele.
Apa kau menciptakan lagu juga?—Tidak.
Tolong nyanyikan Chasing Pavement.
Itu lagu Adele yang paling aku sukai—yang aku kabulkan.
Awalnya, aku mencoba untuk masa bodoh. Namun, seiring
dengan semakin banyaknya gelas wine
yang mendarat di mejaku, mau tak mau aku tergelitik juga. Aku penasaran siapa
penggemar rahasiaku. Aku penasaran seperti apa wujud seseorang yang punya
kebiasaan mengganti semua titik di huruf “i” dengan gambar bintang.
Aku berusaha mengorek informasi dari Asher, pelayan yang selalu
mengantarkan gelas wine untukku. Tapi
seperti yang terjadi barusan, cara ini tidak berhasil.
Lalu aku memata-matai Asher, mengawasi kalau ada yang memberinya secarik
pesan yang nantinya akan diserahkan padaku. Tapi, cara ini juga tidak berhasil.
Kemudian aku mulai mengamati wajah para pengunjung. Enolo tidak terlalu
ramai. Jadi, semestinya aku bisa mengenali wajah yang selalu muncul setiap kali
aku tampil. Namun, setiap kali aku mulai mencurigai seseorang, wajahnya
menghilang di penampilanku berikutnya, tidak pernah tampak lagi, sementara
gelas-gelas wine itu masih terus
berdatangan.
Aku menyesap Merlot-ku lagi. Tidak berapa lama kemudian, Asher
menghampiriku lagi. Kali ini dengan secarik kertas yang dilipat dua, seperti
biasanya. Ia menyerahkan kertas itu padaku dan langsung berlalu. Kubuka lipatan
kertas itu.
Apa wine favoritmu sejauh ini?
Aku tersenyum tipis dan menuliskan: Chardonnay.
Karena itu wine pertama yang ia
berikan padaku.
***
Tiga hari
kemudian, aku kembali ke Enolo. Hari Sabtu, dan kedai itu penuh oleh pengunjung
yang berpasang-pasangan. Asher mengantarkan segelas wine ke mejaku.
“Chardonnay,” beritahunya.
Alisku terangkat. Ini pertama kalinya ia, si penggemar rahasia memberiku wine yang sudah pernah ia berikan
sebelumnya.
Pesan yang menyertai Chardonnay hari itu: Karena Chardonnay adalah favoritmu. Sudah sebulan sejak pertama kali
aku mentraktirmu Chardonnay. Sekarang, maukah kau memberitahuku siapa namamu?
Ia ingin mengetahui siapa namaku.
Aku ingin mengetahui siapa namanya.
Maka, aku memutuskan ini: aku akan memaksanya agar memberitahuku. Aku tidak
akan minum wine yang ia berikan
sampai ia memberitahuku namanya.
Aku mengangkat tangan untuk menarik perhatian Asher. Saat ia berhenti di
dekat mejaku, aku berkata padanya, “Aku pesan Merlot.”
Kening Asher bergumal dan ia melirik Chardonnay-ku.
“Aku tidak akan minum apa pun yang bosmu
berikan sampai bosmu memberitahuku
siapa namanya,” aku menjelaskan. “Tolong sampaikan ini pada bosmu itu.”
Asher tersenyum dan mengangguk.
Merlot-ku tiba kemudian.
Rabu berikutnya, Asher mengantarkan segelas Chianti.
Sabtunya, ia mengantarkan segelas Chablis.
Tapi aku tidak menyentuh satu pun dari mereka.
***
Ketika Rabu yang
lain tiba dan saat itu pohon-pohon di Chicago mulai berubah warna akibat musim
gugur, penggemar rahasiaku akhirnya menyerah. Bersama dengan segelas Viognier yang
berwarna kuning kristal, ia menitipkan secarik kertas yang berisikan sederet
nomor ponsel.
Aku mengeluarkan ponselku, nyaris terburu-buru, dan langsung menghubungi
nomor itu. Mataku memindai, kalau-kalau ada pengunjung yang mengeluarkan
ponselnya atau apa. Tapi, tidak. Tidak ada yang mengeluarkan ponselnya.
Panggilanku juga tidak terjawab.
Aku mencoba lagi, berakhir dengan hasil yang sama.
Aku meletakkan ponsel di atas meja dan menyimpulkan senyum. Bukan orang
yang ceroboh, penggemar rahasiaku ini. Ia pasti tidak mau tertangkap basah saat
menjawab panggilanku.
Maka, setelah aku menyelesaikan pekerjaanku hari itu dan melangkah keluar
dari Enolo dan turun ke jalanan yang dingin dan basah, aku menghubunginya lagi.
Panggilanku terjawab di nada tunggu ketiga.
“Halo...”
Langkahku terhenti mendadak. Aku membeku dan ini tidak ada hubungannya
dengan udara dingin malam itu.
“Halo...”
Aku menurunkan ponsel dan memutuskan sambungan. Kepalaku tertunduk karena
aku merasa semua orang yang berada di jalan saat itu sedang menatap ke arahku
dengan tatapan menuduh.
Aku memasukkan ponselku ke saku jaket dan kembali berjalan. Aku berhenti di
persimpangan jalan. Pada saat yang bersamaan, ponselku berdering. Pasti darinya.
Lampu tanda menyeberang menyala hijau. Aku merapatkan jaket dan
menyeberangi jalan. Ponselku terus berdering. Dan suara pria di ujung sambungan
tadi terus terngiang bagai suara garpu tala yang tidak berkesudahan.
Halo...
Halo...
***
Sejak itu,
kiriman segelas wine itu pun
berhenti.
***
“Eiswein-mu, Mr.
Kurt,” ujar Asher seraya meletakkan wine
pesananku di atas meja.
Pesananku.
Kutatap Eiswein yang berwarna merah kristal dengan tatapan menerawang. Saat
Asher hendak berlalu, aku mengangkat wajah dan menahannya dengan sebuah
pertanyaan.
“Apa dia masih ke sini?”
“Siapa?” tanya Asher.
“Pria yang selama ini mentraktirku wine.”
Asher tersenyum samar. “Tidak lagi, Sir.”
Aku mengangguk.
Asher bertahan di tempatnya sebentar sebelum akhirnya menjauh.
Aku mengetahuinya kelak, bahwa saat itu Asher berbohong.
Pria itu masih ke Enolo.
Ia ada di sana hari itu.
Ia selalu ada di sana.
***
Suatu Sabtu,
sebulan sejak traktiran segelas wine
itu berhenti, aku menghampiri meja bartender, menempati salah satu kursi tinggi yang
berjejer di sana.
“Maaf,” kataku untuk menarik perhatian si bartender.
Si bartender menoleh sambil mengelap sebuah gelas wine. “Ya, Sir, ada yang
bisa saya bantu?”
“Asher tidak masuk kerja hari ini?”
Pertanyaan itu membuat si bartender berhenti mengelap gelas wine. Raut wajahnya berubah menjadi agak
muram. “Dia tidak kerja di sini lagi, Sir.”
“Oh...” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Kukira perbincangan itu bakal berakhir sampai di sana. Tapi, kemudian si
bartender berkata, “Dia mengalami kecelakaan semalam.”
Aku membelalak.
“Tewas di tempat,” lanjut si bartender dengan getir.
Aku membelalak lebih lebar lagi.
Si bartender kembali mengelap gelas wine.
“Mau pesan, Sir?”
Aku menggeleng.
Aku baru akan turun dari kursi saat pandanganku tertumbuk pada sebuah
catatan yang ditempelkan di mesin kasir.
Ini, untuk mengganti gelas yang aku pecahkan.
Aku terpaku selama beberapa detik. Kemudian, “Siapa yang menuliskan catatan
itu?”
Si bartender menoleh kepadaku, lalu ke catatan yang kumaksud. “Oh, itu
Asher yang menuliskannya. Dia memecahkan gelas, di hari dia mengalami kecelakaan.
Kenapa, Sir?”
Aku tidak menjawab. Pandanganku tidak lepas dari catatan itu.
Catatan itu... Semua titik di huruf “i”-nya berbentuk bintang.
***
Ketika aku keluar
dari Enolo malam itu, aku bertempur dengan pikiranku sendiri.
Bagaimana jika aku membalas “halo”-nya waktu itu.
Bagaimana jika aku menjawab panggilannya.
Apa jadinya kalau aku tidak memedulikan tatapan orang-orang.
Apa jadinya kalau aku sedikit lebih berani.
Aku berjalan dan berjalan. Tiba di persimpangan jalan, aku berhenti. Aku
mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor Asher.
Terhubung ke kotak pesan.
Aku menelan ludah. Ada rasa pahit seperti yang ditinggalkan oleh
Gewurztraminer di ujung lidah.
Keheningan mengisi kotak pesan itu selama beberapa saat.
Kemudian, “Halo...”
Aku menarik napas.
“Namaku Dean...”
Aku menunggu sebentar, namun hanya keheningan dan penyesalan yang
menjawabku dari ujung sambungan. Aku mengakhiri sambungan, merapatkan jaket, dan
berjalan menembus udara Chicago yang dingin.
Tidak ada gunanya lagi. Sepotong “halo” yang terlambat tidak akan
membawanya kembali.[]
♫ Hello from the other side
I must've called a thousand times to tell you
I'm sorry for everything that I've done
But
when I call, you never seem to be home
Hello from the outside
At least I can say that I've tried to tell you
I'm sorry for breaking your heart
But it don't matter
It clearly doesn't tear you apart anymore ♫
Tidak ada komentar:
Posting Komentar