Selasa, 04 Agustus 2015

[CERPEN] JABAT TANGAN KITA

Dari mana cerita kita bermula?

...

Ah, ya, kurasa jabat tangan itu. Cerita kita diawali oleh sebuah jabat tangan yang singkat. Tidak terduga, bukan? Bagaimana sebuah jabat tangan sesingkat itu, sesederhana itu, mampu mengawali sebuah cerita yang panjang seperti ini. Tapi, baiklah...


Aku masih ingat, hari Kamis itu aku sedang duduk, menerawang menembus kaca jendela ke keabuan langit di luar ketika kau membuka pintu, membuatnya berderit pelan sebelum melangkah masuk ke dalam ruang kelas. Aku menoleh kepadamu sekilas, lalu kembali sibuk mengamati keabuan langit sambil menerka-nerka kapan hujan akan turun. Tidak tebersit keinginan sedikitpun untuk menghela diri dari kursi, lantas menghampirimu dan memperkenalkan diri seperti yang teman-teman lain lakukan sesaat setelah Indra memperkenalkanmu sebagai mahasiswa baru di kelas kami. Hal seperti itu; menghampiri dan memperkenalkan diri, bukanlah bagian dari diriku. Angkuh? Tidak. Introvert? Mungkin.

Bermenit-menit berlalu dan keriuhan akibat teman-teman yang berbondong-bondong memperkenalkan diri pun mereda. Aku berhenti menatap langit dan menghadap ke depan. Saat itulah kau sudah berdiri di hadapanku. Dengan seulas senyum tipis, tatapan mata yang ramah, wajah putih yang sedikit merona merah dan rambut hitam yang tampak kering dan agak berantakan. Ah, ya, juga dengan tangan kanan yang terulur ke arahku.

“Rendy,” katamu. Suaramu terdengar jernih.

Aku mengerjap, lalu menyambut tanganmu. Aku balas menyebutkan nama. Tak sampai sedetik kemudian, kutarik tanganku kembali.

Jabat tangan singkat itu... apa kau ingat?

Aku ragu kau mengingatnya, ragu pula jabat tangan itu punya arti bagimu. Tapi, aku ingat. Karena seperti yang sudah aku katakan, itu adalah awalnya. Aku juga ingat kau sempat melebarkan senyummu sebelum menjauh, meninggalkan wangi parfum citrus di tempat tadi kau berdiri.

Berhari-hari setelah itu, aku baru tahu kalau kau dan Indra sempat berada di satu kelas yang sama sebelum pindah ke kelas kami.

Kelak, aku juga akan tahu bahwa kau menyesali kepindahanmu itu. Dan menyesali kita.

***

Semenjak itu jabat tangan menjadi semacam ritual bagi kita. Bedanya, jika ritual sungguhan umumnya hanya dilakukan pada saat-saat tertentu, maka ritual jabat tangan kita bisa dilakukan kapan saja dengan alasan yang sederhana.

Seperti ini...

Aku sudah mengenalmu selama dua bulan. Waktu itu pertengahan bulan Mei, satu bulan menjelang Ujian Akhir Semester yang menguras otak, tenaga, waktu dan sebagainya. Banyak tugas akhir semester yang diberikan. Salah satunya adalah tugas Pemrograman Visual yang sebenarnya sudah diberikan sejak tiga minggu yang lalu, tapi aku tidak tahu karena waktu itu aku tidak hadir. Praktis aku kebingungan ketika Pak Septa bertanya sudah sejauh mana perkembangan tugasku.

Melihat aku kebingungan, Pak Septa bertanya, “Kau tidak tahu?”

Aku menggeleng.

“Rendy tidak memberitahumu?”

Aku mengernyit. “Rendy?”

“Saya membentuk kelompok untuk tugas ini. Kau dan Rendy satu kelompok.”

Mendengar itu, aku menoleh ke sudut kanan belakang. Di sana kau menumpukan siku tangan kanan ke atas meja dan dengan sebelah tangan yang itu kau menggaruk-garuk belakang kepalamu. Cengiran menempel di wajahmu yang putih.

Aku kembali ke Pak Septa. “Saya tidak tahu, Pak. Rendy tidak bilang.”

Pak Septa menatap kau dan aku bergantian. Katanya, “Wah, kalian harus cepat. Tugas itu harus dikumpulkan dua minggu lagi.”

Kemudian Pak Septa menjauhi tempat dudukku. Dan sementara Pak Septa kembali berceloteh, kali ini tentang cara menggunakan Crystal Reports, aku menoleh menatapmu lagi. Kau balas menatapku. Masih dengan cengiran yang itu, kau berkata tanpa suara, “Sori.”

“Ada tugas kelompok dari tiga minggu yang lalu dan kau tidak memberitahuku padahal kita satu kelompok dan tugas itu harus dikumpulkan dua minggu lagi?” semburku seraya berjalan keluar dari ruang kelas.

“Sori,” ucapmu di sela-sela usahamu mengejarku.

Aku mendengus keras. “Biar kutebak. Aku tidak akan pernah tahu ada tugas kelompok kalau saja tadi Pak Septa tidak menyinggungnya.”

“Sori. Aku benar-benar lupa kalau ada tugas,” kau membalas. “Hei, berhenti dong. Aku capek.”

Aku berhenti berjalan dengan mengentak tanah. Saat itu aku sudah sampai di taman kampus. Aku tidak akan tahu kalau kau tertinggal cukup jauh jika saja aku tidak berbalik ke belakang dan menemukanmu sedang mendekat dengan langkah-langkah panjang. Ya, salah satu kebiasaanku; kecepatan berjalanku kerap melejit saat aku sedang marah.

“Lain kali, ketika aku tiba-tiba melempar kepalamu dengan buku, aku akan bilang ‘Sori. Aku benar-benar lupa kalau kau itu temanku’,” kataku sarkatis.

Kau berhenti di dekatku dan terkekeh dengan napas yang kepayahan. “Jangan marah dong.”

“Bagaimana bisa aku tidak marah?” Aku mendelik dongkol. “Kita harus membuat program penjualan, pembelian dan pengendalian stok dengan menu cetak laporan dan bug[1] seminimal mungkin dan sebagainya dalam waktu dua minggu.”

Kau menatapku menenangkan. “Begini saja. Kau buat rancangan interface[2]-nya dan aku yang buat programnya. Dengan begitu aku bisa menebus kesalahanku dan kau tidak perlu melempar kepalaku dengan buku. Bagaimana?”

Alisku terangkat. “Jadi, tugasku cuma membuat rancangan interface?”

Kau mengangguk.

“Dan kau yang akan membuat programnya?”

Kau mengangguk.

Seluruh programnya?” tanyaku memastikan.

Kau mengangguk lagi.

“Oke,” aku sepakat tanpa pikir panjang.

Kau tersenyum, lalu menjulurkan tangan kanan. “Jadi, maaf?”

Sesaat, aku menatap heran tangan kananmu. Tapi, akhirnya kusambut juga. “Dimaafkan,” sahutku.

Itu jabat tangan kita yang kedua. Dan tidakkah yang kali ini sedikit aneh? Maksudku, kau bisa saja meminta maaf tanpa perlu mengajakku berjabat tangan. Tapi, kau melakukannya. Dan perlahan-lahan aku mulai merasa bahwa jabat tangan itu, dan jabat tangan yang lain setelah itu bukan jabat tangan biasa.

Perlahan-lahan pula aku mulai paham, meski tidak kaukatakan, bahwa jabat tangan-jabat tangan itu adalah caramu mengungkapkan perasaanmu.

***

Kurasa sejak awal jabat tangan memiliki arti khusus dalam cerita kita, bukan begitu? Jabat tangan itu bukan hanya awalnya, tapi ia juga adalah gambaran sempurna untuk keseluruhan cerita kita. Sama seperti jabat tangan, pada akhirnya, selama apa pun kita telah saling bertaut, kita tetap harus berpisah. Karena jika kita jabat tangan selamanya, bagi orang lain itu akan terlihat salah.

Enam bulan telah berlalu sejak kepindahanmu ke kelas kami, dan selama itu entah sudah berapa kali kau mengajakku berjabat tangan; ketika kau meminta maaf bahkan untuk kesalahan yang sangat sepele, setiap kali kita sepakat mengenai sesuatu, saat proposal skripsiku diterima, setelah aku selesai sidang skripsi dan di banyak kesempatan yang lain. Dan setiap kali kau mengulurkan tangan, aku tidak pernah menolak untuk menggapainya. Bagaimana bisa aku menolak jika berada dalam rengkuhan jemarimu yang panjang itu terasa begitu hangat?

Akan tetapi, seperti kataku tadi, pada akhirnya kita tetap harus berpisah.

Masihkah kau ingat bagaimana suasana ballroom hotel itu? Luas, didominasi warna biru dan dipenuhi oleh para wisudawan dan keluarga. Kau dan aku hanya segelintir dari keramaian yang datang di acara pelepasan wisudawan yang rutin diselenggarakan oleh pihak kampus.

Saat itu adalah menit-menit terakhir sebelum keramaian membubarkan diri, menit-menit saat semua wisudawan saling mengucapkan salam perpisahan ketika kau menghampiriku dengan setelan kemeja merah gelap dan celana panjang hitam yang tampak formal. Mendampingi di sebelahmu adalah kekasihmu yang telah kaupacari selama empat tahun. Aku baru tahu kau sudah memiliki kekasih setelah Ujian Akhir Semester selesai. Dan kau tahu apa artinya itu? Bagiku, itu berarti meskipun kedua tangan kita sering saling bertaut, ada satu hal tentang kita yang tidak akan pernah saling bertaut. Atau, mungkin sejak awal memang begitu adanya dan aku terlalu naif karena masih saja berharap.

“Hei,” sapamu.

“Hei,” balasku kering.

“Perkenalkan, ini Via.”

Kekasihmu mengulurkan tangan. Bibirnya melengkungkan senyum. “Via.”

Aku menatapmu sepintas sebelum kusambut uluran tangannya. Kubalas senyum tipisnya sambil mengucapkan namaku. “Nico.”

“Kami akan pulang sebentar lagi,” ujarmu.

Aku mengedikkan bahu. “Itu yang semua orang akan lakukan sebentar lagi.”

Kau tersenyum sendu. Aku ikut tersenyum, sama sendunya.

“Kalau begitu, semoga sukses,” ucapmu seraya mengulurkan tangan.

Kutatap tanganmu sejenak, lalu kujabat. Kehangatan sontak membungkus tanganku. Untuk kali ini, jabat tangan kita berlangsung lebih lama daripada biasanya. Karena kurasa kita sama-sama tahu, setelah ini, setelah jabat tangan yang ini, mungkin tidak akan ada lagi jabat tangan-jabat tangan yang lain.

Jabat tangan itu terurai beberapa saat kemudian.

“Sampai jumpa,” katamu.

“Sampai jumpa,” kataku.

Kau tersenyum lagi seolah tidak ada penyesalan apa-apa. Tapi, aku tahu ombak apa yang berdebur di balik mata hitammu saat itu karena ombak yang sama juga berdebur di balik mataku. Ombak kesedihan itu...

Kau dan kekasihmu berbalik menjauh. Aku ikut berbalik dan menjauh.

Kuhela napas dalam-dalam. Sekelilingku tampak memudar dan aku merasa seperti daun kering yang melayang-layang.

Jadi, bagaimana aku akan mengakhiri cerita ini? Kalimat apa yang kira-kira bagus?

...

Ah, kurasa ini.

Jika di luar sana ada cinta yang terhalang oleh perbedaan, maka cinta kita justru terhalang oleh persamaan.

Ya, yang itu saja.

[]


Author's note: cerpen ini diikutsertakan dalam proyek menulis "Kasih Tak Sampai" yang diadakan oleh nulisbuku.com. Cerpen ini adalah salah satu dari 25 besarnya.


[1] Kesalahan pada program
[2] Tampilan program

Tidak ada komentar:

Posting Komentar