Dari mana cerita kita bermula?
...
Ah, ya, kurasa jabat tangan itu. Cerita kita
diawali oleh sebuah jabat tangan yang singkat. Tidak terduga, bukan? Bagaimana
sebuah jabat tangan sesingkat itu, sesederhana itu, mampu mengawali sebuah
cerita yang panjang seperti ini. Tapi, baiklah...
Aku masih ingat, hari Kamis itu aku sedang duduk,
menerawang menembus kaca jendela ke keabuan langit di luar ketika kau membuka
pintu, membuatnya berderit pelan sebelum melangkah masuk ke dalam ruang kelas.
Aku menoleh kepadamu sekilas, lalu kembali sibuk mengamati keabuan langit
sambil menerka-nerka kapan hujan akan turun. Tidak tebersit keinginan
sedikitpun untuk menghela diri dari kursi, lantas menghampirimu dan
memperkenalkan diri seperti yang teman-teman lain lakukan sesaat setelah Indra
memperkenalkanmu sebagai mahasiswa baru di kelas kami. Hal seperti itu;
menghampiri dan memperkenalkan diri, bukanlah bagian dari diriku. Angkuh?
Tidak. Introvert? Mungkin.
Bermenit-menit berlalu dan keriuhan akibat
teman-teman yang berbondong-bondong memperkenalkan diri pun mereda. Aku
berhenti menatap langit dan menghadap ke depan. Saat itulah kau sudah berdiri
di hadapanku. Dengan seulas senyum tipis, tatapan mata yang ramah, wajah putih
yang sedikit merona merah dan rambut hitam yang tampak kering dan agak
berantakan. Ah, ya, juga dengan tangan kanan yang terulur ke arahku.
“Rendy,” katamu. Suaramu terdengar jernih.
Aku mengerjap, lalu menyambut tanganmu. Aku balas
menyebutkan nama. Tak sampai sedetik kemudian, kutarik tanganku kembali.
Jabat tangan singkat itu... apa kau ingat?
Aku ragu kau mengingatnya, ragu pula jabat tangan
itu punya arti bagimu. Tapi, aku ingat. Karena seperti yang sudah aku katakan,
itu adalah awalnya. Aku juga ingat kau sempat melebarkan senyummu sebelum
menjauh, meninggalkan wangi parfum citrus di tempat tadi kau berdiri.
Berhari-hari setelah itu, aku baru tahu kalau kau
dan Indra sempat berada di satu kelas yang sama sebelum pindah ke kelas kami.
Kelak, aku juga akan tahu bahwa kau menyesali
kepindahanmu itu. Dan menyesali kita.
***
Semenjak itu jabat tangan menjadi semacam ritual
bagi kita. Bedanya, jika ritual sungguhan umumnya hanya dilakukan pada
saat-saat tertentu, maka ritual jabat tangan kita bisa dilakukan kapan saja
dengan alasan yang sederhana.
Seperti ini...
Aku sudah mengenalmu selama dua bulan. Waktu itu
pertengahan bulan Mei, satu bulan menjelang Ujian Akhir Semester yang menguras
otak, tenaga, waktu dan sebagainya. Banyak tugas akhir semester yang diberikan.
Salah satunya adalah tugas Pemrograman Visual yang sebenarnya sudah diberikan
sejak tiga minggu yang lalu, tapi aku tidak tahu karena waktu itu aku tidak
hadir. Praktis aku kebingungan ketika Pak Septa bertanya sudah sejauh mana
perkembangan tugasku.
Melihat aku kebingungan, Pak Septa bertanya, “Kau
tidak tahu?”
Aku menggeleng.
“Rendy tidak memberitahumu?”
Aku mengernyit. “Rendy?”
“Saya membentuk kelompok untuk tugas ini. Kau dan
Rendy satu kelompok.”
Mendengar itu, aku menoleh ke sudut kanan belakang.
Di sana kau menumpukan siku tangan kanan ke atas meja dan dengan sebelah tangan
yang itu kau menggaruk-garuk belakang kepalamu. Cengiran menempel di wajahmu
yang putih.
Aku kembali ke Pak Septa. “Saya tidak tahu, Pak.
Rendy tidak bilang.”
Pak Septa menatap kau dan aku bergantian. Katanya,
“Wah, kalian harus cepat. Tugas itu harus dikumpulkan dua minggu lagi.”
Kemudian Pak Septa menjauhi tempat dudukku. Dan
sementara Pak Septa kembali berceloteh, kali ini tentang cara menggunakan Crystal
Reports, aku menoleh menatapmu lagi. Kau balas menatapku. Masih dengan
cengiran yang itu, kau berkata tanpa suara, “Sori.”
“Ada tugas kelompok dari tiga minggu yang lalu dan
kau tidak memberitahuku padahal kita satu kelompok dan tugas itu harus
dikumpulkan dua minggu lagi?” semburku seraya berjalan keluar dari ruang kelas.
“Sori,” ucapmu di sela-sela usahamu mengejarku.
Aku mendengus keras. “Biar kutebak. Aku tidak akan
pernah tahu ada tugas kelompok kalau saja tadi Pak Septa tidak menyinggungnya.”
“Sori. Aku benar-benar lupa kalau ada tugas,” kau
membalas. “Hei, berhenti dong. Aku capek.”
Aku berhenti berjalan dengan mengentak tanah. Saat
itu aku sudah sampai di taman kampus. Aku tidak akan tahu kalau kau tertinggal
cukup jauh jika saja aku tidak berbalik ke belakang dan menemukanmu sedang
mendekat dengan langkah-langkah panjang. Ya, salah satu kebiasaanku; kecepatan
berjalanku kerap melejit saat aku sedang marah.
“Lain kali, ketika aku tiba-tiba melempar kepalamu
dengan buku, aku akan bilang ‘Sori. Aku benar-benar lupa kalau kau itu
temanku’,” kataku sarkatis.
Kau berhenti di dekatku dan terkekeh dengan napas
yang kepayahan. “Jangan marah dong.”
“Bagaimana bisa aku tidak marah?” Aku mendelik
dongkol. “Kita harus membuat program penjualan, pembelian dan pengendalian stok
dengan menu cetak laporan dan bug[1]
seminimal mungkin dan sebagainya dalam waktu dua minggu.”
Kau menatapku menenangkan. “Begini saja. Kau buat
rancangan interface[2]-nya
dan aku yang buat programnya. Dengan begitu aku bisa menebus kesalahanku dan
kau tidak perlu melempar kepalaku dengan buku. Bagaimana?”
Alisku terangkat. “Jadi, tugasku cuma membuat
rancangan interface?”
Kau mengangguk.
“Dan kau yang akan membuat programnya?”
Kau mengangguk.
“Seluruh programnya?” tanyaku memastikan.
Kau mengangguk lagi.
“Oke,” aku sepakat tanpa pikir panjang.
Kau tersenyum, lalu menjulurkan tangan kanan.
“Jadi, maaf?”
Sesaat, aku menatap heran tangan kananmu. Tapi,
akhirnya kusambut juga. “Dimaafkan,” sahutku.
Itu jabat tangan kita yang kedua. Dan tidakkah yang
kali ini sedikit aneh? Maksudku, kau bisa saja meminta maaf tanpa perlu
mengajakku berjabat tangan. Tapi, kau melakukannya. Dan perlahan-lahan aku
mulai merasa bahwa jabat tangan itu, dan jabat tangan yang lain setelah itu
bukan jabat tangan biasa.
Perlahan-lahan pula aku mulai paham, meski tidak
kaukatakan, bahwa jabat tangan-jabat tangan itu adalah caramu mengungkapkan
perasaanmu.
***
Kurasa sejak awal jabat tangan memiliki arti khusus
dalam cerita kita, bukan begitu? Jabat tangan itu bukan hanya awalnya, tapi ia
juga adalah gambaran sempurna untuk keseluruhan cerita kita. Sama seperti jabat
tangan, pada akhirnya, selama apa pun kita telah saling bertaut, kita tetap
harus berpisah. Karena jika kita jabat tangan selamanya, bagi orang lain itu
akan terlihat salah.
Enam bulan telah berlalu sejak kepindahanmu ke
kelas kami, dan selama itu entah sudah berapa kali kau mengajakku berjabat
tangan; ketika kau meminta maaf bahkan untuk kesalahan yang sangat sepele,
setiap kali kita sepakat mengenai sesuatu, saat proposal skripsiku diterima,
setelah aku selesai sidang skripsi dan di banyak kesempatan yang lain. Dan
setiap kali kau mengulurkan tangan, aku tidak pernah menolak untuk
menggapainya. Bagaimana bisa aku menolak jika berada dalam rengkuhan jemarimu
yang panjang itu terasa begitu hangat?
Akan tetapi, seperti kataku tadi, pada akhirnya
kita tetap harus berpisah.
Masihkah kau ingat bagaimana suasana ballroom
hotel itu? Luas, didominasi warna biru dan dipenuhi oleh para wisudawan dan
keluarga. Kau dan aku hanya segelintir dari keramaian yang datang di acara
pelepasan wisudawan yang rutin diselenggarakan oleh pihak kampus.
Saat itu adalah menit-menit terakhir sebelum
keramaian membubarkan diri, menit-menit saat semua wisudawan saling mengucapkan
salam perpisahan ketika kau menghampiriku dengan setelan kemeja merah gelap dan
celana panjang hitam yang tampak formal. Mendampingi di sebelahmu adalah
kekasihmu yang telah kaupacari selama empat tahun. Aku baru tahu kau sudah
memiliki kekasih setelah Ujian Akhir Semester selesai. Dan kau tahu apa artinya
itu? Bagiku, itu berarti meskipun kedua tangan kita sering saling bertaut, ada
satu hal tentang kita yang tidak akan pernah saling bertaut. Atau, mungkin
sejak awal memang begitu adanya dan aku terlalu naif karena masih saja
berharap.
“Hei,” sapamu.
“Hei,” balasku kering.
“Perkenalkan, ini Via.”
Kekasihmu mengulurkan tangan. Bibirnya
melengkungkan senyum. “Via.”
Aku menatapmu sepintas sebelum kusambut uluran
tangannya. Kubalas senyum tipisnya sambil mengucapkan namaku. “Nico.”
“Kami akan pulang sebentar lagi,” ujarmu.
Aku mengedikkan bahu. “Itu yang semua orang akan
lakukan sebentar lagi.”
Kau tersenyum sendu. Aku ikut tersenyum, sama
sendunya.
“Kalau begitu, semoga sukses,” ucapmu seraya
mengulurkan tangan.
Kutatap tanganmu sejenak, lalu kujabat. Kehangatan
sontak membungkus tanganku. Untuk kali ini, jabat tangan kita berlangsung lebih
lama daripada biasanya. Karena kurasa kita sama-sama tahu, setelah ini, setelah
jabat tangan yang ini, mungkin tidak akan ada lagi jabat tangan-jabat tangan
yang lain.
Jabat tangan itu terurai beberapa saat kemudian.
“Sampai jumpa,” katamu.
“Sampai jumpa,” kataku.
Kau tersenyum lagi seolah tidak ada penyesalan
apa-apa. Tapi, aku tahu ombak apa yang berdebur di balik mata hitammu saat itu
karena ombak yang sama juga berdebur di balik mataku. Ombak kesedihan itu...
Kau dan kekasihmu berbalik menjauh. Aku ikut
berbalik dan menjauh.
Kuhela napas dalam-dalam. Sekelilingku tampak
memudar dan aku merasa seperti daun kering yang melayang-layang.
Jadi, bagaimana aku akan mengakhiri cerita ini?
Kalimat apa yang kira-kira bagus?
...
Ah, kurasa ini.
Jika di luar sana ada cinta yang terhalang oleh
perbedaan, maka cinta kita justru terhalang oleh persamaan.
Ya, yang itu saja.
[]
Author's
note: cerpen ini diikutsertakan dalam proyek menulis "Kasih Tak
Sampai" yang diadakan oleh nulisbuku.com. Cerpen ini adalah salah
satu dari 25 besarnya.
[1]
Kesalahan pada program
[2]
Tampilan program
Tidak ada komentar:
Posting Komentar