Minggu, 20 September 2015

Darren Johnson and The Legatus of Ethra


SUNGGUH, menghabiskan hari Sabtu dengan mengunjungi galeri lukisan sama sekali bukan ideku. Itu ide Mom. Kalau kalian tanya aku, aku akan dengan senang hati membungkus diri dengan selimut dan tidur sepanjang hari. Tapi, Mom berpendapat lain. Menurutnya, akhir pekan itu harus dihabiskan dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti menyeret putra satu-satunya ke sebuah galeri lukisan membosankan di New Bond Street.

“Mom, demi Tuhan, ini hari Sabtu!” erangku saat Mom menarik selimutku.

“Aku tahu,” balas Mom riang. “Dan kau sudah berjanji akan menemaniku ke D’Art hari ini.”

Masih berbaring, aku mengerutkan kening, mengingat-ingat. Mom pasti melihat itu karena kemudian ia berkata, “Jangan berlagak lupa. Kau sudah berjanji Selasa kemarin.”

Aku melebarkan mata. “Kau pasti tidak berpikir aku serius waktu itu.”

Mom diam saja.

“Mom!” aku berseru. “Kau tidak bisa menganggap aku serius waktu itu. Aku berjanji hanya agar kau memberiku uang untuk membeli sepatu baru. Aku sama sekali tidak serius.”

Well, aku menganggap serius semua janji yang diucapkan oleh—khususnya—laki-laki.”

“Tidak adil,” protesku. “Sepatu lamaku sudah tidak layak pakai. Aku butuh sepatu baru. Kau tidak boleh mengambil keuntungan dari sepatu lamaku yang tidak layak pakai.”

“Pelajaran pertama hari ini, Darren,” kata Mom, “jangan mengucapkan janji yang tidak mau kaupenuhi.”

“Kecuali kalau kau punya alasan mendesak seperti sepatu lama tidak layak pakai yang butuh segera diganti,” tandasku datar. Aku menarik selimut sampai melewati kepala, baru memejamkan mata selama satu detik ketika selimutku kembali tertarik ke bawah.

“Darren, bangun.”

“Tidak.”

“Darren Brian Johnson...!”

Pada akhirnya, aku benar-benar menemani Mom ke D’Art. Kalau orangtua kalian sudah memanggil kalian dengan nama depan-tengah-belakang, kusarankan, nih: berhenti sajalah bersikap keras kepala. Karena kalau tidak, biasanya hal-hal buruk bakal menimpamu.

Aku mengekori Mom pindah dari satu ruangan ke ruangan lain, dari satu koridor ke koridor lain tanpa semangat. Aku tidak habis pikir apa yang menarik dari sebuah galeri lukisan. Ruangan dan koridor yang lengang, dinding yang dipasangi lukisan—menurutku, itu semua membosankan.

Kami beranjak ke ruangan lain. Mom langsung menghampiri sisi kanan ruangan. Aku mendesah dan mengedar pandangan. Saat itulah aku melihat lukisan itu, tergantung di sisi kiri ruangan.

Kamis, 17 September 2015

Why Gay Themed Novel?

So, few days ago, I got a big question from a cool book blogger named Sulis. The story goes like this: she read my debut novel, Above the Stars, which is gay themed lit, and I told her that my second novel that I am writing is also a gay themed lit. Then, she asked me this big question: why do I like to write LGBT novel? And perhaps, Sulis is not the only one who is curious about that. So, here I am trying to give an answer. Actually, I had given Sulis a three-sentences-long answer. What I am about to give now is a longer version of it.