AKU turun dari
panggung yang hanya beberapa sentimeter lebih tinggi dari lantai kedai wine ini. Suara sepatu yang beradu dengan
lantai kayu mengiringiku kembali ke mejaku. Aku mengempaskan diri ke kursi
tinggi, lalu mengecek ponselku sebentar. Tidak ada panggilan maupun pesan
masuk. Menyelipkan ponsel kembali ke saku celana, aku mengangkat wajah dan
melihat Asher tengah berjalan ke arahku dengan segelas wine di atas nampan.
“Merlot,” katanya.
Aku tidak memesan Merlot. Tapi itu sama sekali tidak mengejutkan.
Aku mengangkat alis, menatap gelas di bawah hidungku. Bibir gelasnya
berkilau dengan warna kuning keemasan, memantulkan cahaya lampu yang tergantung
rendah dari langit-langit.
“Mau memberitahuku siapa namanya sekarang?” tanyaku.