So, few days ago, I got a big question
from a cool book blogger named Sulis. The story goes like this: she read my
debut novel, Above the Stars, which is gay themed lit,
and I told her that my second novel that I am writing is
also a gay themed lit. Then, she asked me this big question: why do I like to
write LGBT novel? And perhaps, Sulis is not the only one who is curious about
that. So, here I am trying to give an answer. Actually, I had given Sulis a
three-sentences-long answer. What I am about to give now is a longer version of it.
Seperti yang bisa kita lihat, sekarang ini banyak banget penulis-penulis
dan buku-buku baru yang bermunculan. Dulu, empat atau lima tahun yang lalu,
kalau aku ke toko buku, rak-rak buku fiksi di sana paling cuma diisi oleh buku-buku
terbitan Gramedia dan Gagas Media. I
don’t know. Mungkin ada beberapa dari penerbit lain. Tapi, seingatku, dua
penerbit itu yang mendominasi rak. Kalau sekarang? Wah... Terakhir aku ke toko
buku bulan lalu, rak-rak fiksinya dipenuhi oleh buku-buku dari sejuta penerbit
(yes, I am being hyperbolic) yang
beberapa di antaranya bahkan gak pernah aku dengar namanya. Well, mungkin aku aja yang cupu. But, the point is, there are so many books
and unfortunately, most readers cannot afford to buy them all. And even if they
can, there is still no enough time to read ‘em all. Akibatnya, pembaca
pun jadi semakin selektif dalam memasukkan judul buku ke daftar to-buy mereka. Dan karena pembaca jadi
selektif, para penulis, khususnya penulis baru (seperti aku) pun berebut untuk
mendapatkan tempat di daftar itu. Masalahnya, gak gampang bagi penulis baru
untuk menarik atensi pembaca karena mereka bukan hanya harus bersaing dengan
sesama penulis baru yang lain, tapi mereka juga harus bersaing dengan
penulis-penulis lain yang sudah punya “nama”, bahkan yang best-seller.
Aku pribadi meyakini ada dua cara untuk menarik perhatian pembaca: (1)
Tulis apa yang penulis lain tulis dan tulislah dengan lebih baik. (2) Ciptakan
“boom” dengan menuliskan sesuatu yang berbeda. Kalau penulis itu diibaratkan
pulpen dan dunia literasi itu meja, maka sekarang ini ada banyak banget pulpen
di atas meja. Jika aku (sebagai penulis baru) hanya menulis sesuatu yang sudah
banyak ditulis oleh penulis lain, maka aku ini ibarat sebuah pulpen biru di antara
kumpulan pulpen biru. Identik, gak ada bedanya, susah dapat perhatian. Aku bisa
aja nulis tentang cowok-cewek yang sahabatan sejak kecil, lalu si cowok
diam-diam jatuh cinta sama sahabat ceweknya. Tapi, sainganku adalah novel best-seller Remember When dan Refrain (both are Winna Efendi’s), Camar Biru (Nilam Suri) dan seterusnya (you can put other titles here). Jika ulasan Remember When mendapatkan lebih banyak poin positif dibanding
tulisanku dan calon pembaca hanya punya budget
untuk membeli satu novel tentang sahabat jadi cinta, sudah barang pasti dia
akan membeli Remember When. Makanya,
jika aku memutuskan untuk menulis apa yang penulis lain tulis, aku harus
memastikan tulisanku punya sesuatu yang lebih dari apa yang penulis lain tulis.
That is point number one. And since the
pressure is big enough, I then decided to stick with point number two: make a
“boom” by writing something different.
Aku gak bermaksud mengatakan bahwa novel LGBT adalah sesuatu yang orisinal
di Indonesia. Sebelum Above the Stars,
sudah ada Lelaki Terindah (Andrei
Aksana) yang best-seller. Ada juga Before Us (Robin Wijaya), Hujan dan Teduh (Wulan Dewatra), Falling (Rina Suryakusuma). What I am trying to say is, novel LGBT
masih sangat jarang di Indonesia, apalagi yang genre-nya young adult
(sepengetahuanku, sih). Aku juga bukan bermaksud mengatakan bahwa dengan
menuliskan novel LGBT, aku serta-merta bakal dapat atensi dari pembaca. Hanya
saja, setidaknya aku sudah mencoba untuk menyajikan sesuatu yang berbeda—dan
orang-orang biasanya tertarik dengan sesuatu yang berbeda. Aku jadi teringat
pada seminar yang pernah aku ikuti waktu masih kuliah tahun lalu.
Jadi, di suatu Sabtu di bulan-entah-apa-aku-lupa, kampusku ngadain seminar
tentang peluang kerja kreatif atau lapangan usaha kreatif apa gitu, aku lupa.
Pokoknya, ada hubungannya dengan kreatifitas. Salah satu pembicaranya waktu itu
si Pandji Pragiwaksono. Kenal, kan? Iya, pembawa acara “Kena, Deh” itu. Iya, stand-up comedian itu. Iya, yang
lucu-lucu itu. Dia itu osem, baidewey. Dia baru naik ke panggung, belum bicara,
baru ngasih mimik-mimik gitu, orang-orang udah pada ketawa sampe guling-guling
di lantai. Bercanda, ding, enggak sampai segitunya. But, the point is dia bicara sambil ngelucu panjang lebar tentang
betapa “berani beda” itu bisa jadi senjata ampuh untuk bersaing. Dia ngasih
contoh: salah satunya Psy. Iya, paman asal Korea yang tersohor di seantero
jagad raya berkat tarian Gangnam Style-nya itu. Dia artis Korea yang gak sixpack (di saat banyak artis di sana
yang sixpack aduhai), dan yang gak
ganteng-ganteng amat (di saat banyak artis di sana yang wajahnya mampu membuat
mentega beku meleleh dalam sepersekian detik), dan yang gak muda-muda amat (di
saat banyak artis di sana yang muda dan bening). Tapi, kata Pandji, karena dia
berbeda itulah makanya dia terkenal. Dan aku pikir benar juga. Kalau Psy itu
muda, ganteng, terus sixpack ulala,
mungkin dia bakal tetap terkenal, tapi mungkin gak bakal se-booming itu sampai-sampai tarian Gangnam
Style-nya jadi viral di mana-mana. Contoh lainnya: Lady Gaga, Miley Cyrus, Sia,
dll.
So, the reason why I like to write gay themed
lit is not because I am gay or I want to provoke something or whatsoever. It is
purely because I want to write something different. Aku juga ingin menyajikan tema LGBT ini
dengan ringan kepada pembaca, tanpa galau-galau yang berlebihan, tanpa ada
tendensi untuk memengaruhi apa yang pembaca percayai, apalagi memaksakan apa
yang aku percayai kepada mereka. Orang-orang akan mengingat Lady Gaga sebagai
penyanyi yang pernah memakai gaun daging mentah dan sepatu yang haknya berbentuk
penis. Psy akan mengingatkan orang-orang pada sebuah tarian-pura-pura-naik-kuda,
Miley Cyrus pada aksi nyaris (atau memang) telanjang di atas bola penghancur,
Sia pada wig pirang
penutup-seluruh-wajah-kecuali-mulut. Kalau aku... aku ingin, ketika pembaca
menyebut nama “D. Wijaya”, orang lain akan langsung menghubungkan nama tersebut
dengan novel tema LGBT. Because that is
how I know I already get my own spot.
See y’all,
D
That's nice answer the reason you wrote LGBT is to get attention. Tapi di Indonesia, gay ini kan ga semua org nerima. Karena ada temanku yg tadinya mau beli Aristotle & Dante Discover The Secrets of The Universe krn covernya bagus, malah ga jadi beli pas tau temanya LGBT. Ada kepikiran seperti itu?
BalasHapusTentu. Sewaktu memutuskan untuk menulis “Above the Stars”, aku sadar betul bacaan seperti riskan di pasaran. Aku ingat betapa aku dan editorku berusaha “menutup-nutupi” tema LGBT ini di awal-awal “Above the Stars” terbit. Tapi, toh, kami gak bisa berlama-lama menutupi itu.
HapusAda sebuah film berjudul "Love of Siam" yang beberapa tahun lalu sempat booming di Thailand dan beberapa negara lain. Film itu kontroversial karena mengangkat tema LGBT. Aku pernah baca ulasan film itu di Kaskus. Beberapa orang berkomentar mereka takut untuk menonton film tersebut karena tema yang diangkat. Tapi, setelah aku menonton filmnya, aku sampai pada satu kesimpulan bahwa "Love of Siam" bukan hanya tentang LGBT. "Love of Siam" itu film tentang banyak hal; cinta keluarga, persahabatan, penerimaan, dan melepaskan. Itu film yang kompleks dan dalam jika kita melihat secara keseluruhan.
Aku tahu konsekuensi dari menulis cerita seperti ini. Tapi, aku berharap para pembaca juga akan begitu terhadap "Above the Stars" (dan tulisan-tulisanku selanjutnya). Aku berharap pembaca mau melihat tulisanku secara keseluruhan, bukan hanya terpaku pada tema LGBTnya.